BREAKING NEWSDAERAHJAMBIOPINIPENDIDIKAN

Strategi Merubah Perilaku Negatif Suku Baduy yang Menjaga Jarak dari Negara

×

Strategi Merubah Perilaku Negatif Suku Baduy yang Menjaga Jarak dari Negara

Sebarkan artikel ini

Distrikberita.com | Indonesia dengan keberagaman budayanya menyimpan permata tersembunyi di sudut-sudutnya yang paling terpencil. Salah satunya adalah negeri suku baduy, sebuah tempat dipedalaman pulau Jawa yang menyajikan kehidupan yang begitu kontras dengan keramaian perkotaan. Terletak di Kabupaten Lebak, suku baduy terkenal dengan pemeliharaan tradisi dan kehidupan mereka yang terkait erat dengan nilai-nilai kearifan lokal. Suku baduy merupakan generasi yang hidup dengan kesederhanaan, ketaatan, keikhlasan dalam mempertahankan dan melaksanakan tradisi serta amanat leluhurnya. Suku baduy menyadari dengan tegaknya berdirinya kesukuan mereka, maka adat istiadat dan pusakan leluhur harus tetap dijaga dan dilestarikan dengan diwariskan secara berkesinambungan kepada anak cucunya secara tegas dan mengikat. Adapun Bahasa yang mereka gunakan adalah Bahasa Sunda Banten. Orang baduy tidak mengenal budaya tulis, sehingga adat istiadat, kepercayaan dan cerita nenek moyang hanya tersimpan didalam tuturan lisan saja. Cara berpakaian orang baduy menunjukkan jati diri mereka. Baduy luar mengenakan pakaian berwarna gelap, sedangkan baduy dalam mengenakan pakaian warna putih alami.

Suku baduy bukanlah merupakan suku terasing, akan tetapi suatu suku yang sengaja “mengasingkan diri” dari kehidupan dunia luar termasuk negara mereka sendiri dan menutup dirinya dari pengaruh kultur luar yang dianggap negatif dengan satu tujuan untuk menunaikan amanat para leluhurnya. Masyarakat suku baduy juga adalah sosok masyarakat yang dari waktu ke waktu tidak mengenal perubahan seperti masyarakat pada masyarakat modern yang seiring dengan perkembangan zaman bertambah pula gaya hidup praktisnya. Namun mirisnya kearifan lokal yang dijaga ketat oleh suku baduy ini telah menjadi perilaku negatif yang perlahan-lahan menjaga jaraknya dari negara tempat kaki mereka berpijak.

Penulis menjelajahi suku baduy luar dengan perjalanan 4 jam tepat dimulai dari terminal Ciboleger. Dengan mengamati secara langsung kehidupan yang dijalankan mereka membuka mata penulis bahwa pengasingan diri ini merupakan hal yang sangat krusial untuk dituntaskan. Tidak menggunakan teknologi, internet

 

yang tidak tersedia, mandi tanpa sabun, menambah rasa ketertarika penulis untuk mendalami suku yang “terasing” ini.

Salah satu aspek paling menarik dari Suku baduy adalah sikap mereka terhadap pemerintah dan otoritas negara. Mereka menolak segala bentuk identifikasi resmi seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP). Penolakan ini bukan sekadar simbol perlawanan, melainkan refleksi dari kepercayaan mendalam dan filosofi hidup mereka. Bagi Suku Baduy, menerima identifikasi resmi berarti menyerahkan sebagian dari kemandirian mereka dan membuka pintu bagi intervensi yang bisa merusak keseimbangan hidup mereka. Tidak hanya menolak KTP, Suku Baduy juga memiliki cara unik dalam menyampaikan aspirasi atau keluhan. Setiap tahun, mereka mengirimkan “Seba Baduy” ke pemerintah daerah dan pusat. Ini adalah ritual tahunan di mana mereka membawa hasil bumi sebagai simbol penghormatan sekaligus sebagai sarana untuk menyampaikan pesan-pesan penting terkait kebutuhan dan harapan mereka. Larangan-larangan yang diterapkan, seperti tidak menggunakan teknologi modern, tidak hanya bertujuan menjaga kemurnian tradisi, tetapi juga melindungi lingkungan. Meskipun hidup terisolasi, Suku baduy tidak luput dari tantangan. Tekanan dari luar, baik itu dalam bentuk pembangunan infrastruktur, ekspansi pertanian modern, atau pariwisata, seringkali mengancam keseimbangan hidup mereka. Pemerintah menghadapi dilema dalam hal ini, bagaimana memberikan hak-hak dasar kepada komunitas adat tanpa merusak kearifan lokal yang mereka junjung tinggi. Namun, suku baduy tetap teguh, mereka menunjukkan kepada dunia bahwa hidup selaras dengan alam dan menjaga tradisi bisa menjadi pilihan yang berkelanjutan. Keteguhan mereka dalam menjaga identitas dan kemandirian menjadi cerminan kekuatan budaya dan nilai- nilai yang tidak tergoyahkan oleh waktu.

Dilema ini kian hari semakin membinggungkan, seakan akan pemerintah maju salah mundur salah. Kendala kemajuan teknologi ini juga membuat masyarakat suku baduy makin menutup diri. Disaat semua orang sudah menggunakan teknologi untuk membantu menyelesaikan segala persoalan kehidupan dengan efektiv dan efisien. Kearifan lokal yang dimiliki suku baduy harusnya bisa menambah keberagaman Indonesia di kancah nasional, dengan bakat menjahit mereka dan ukiran yang mereka buat. Dengan mengadopsi teknologi dan

 

menerimanya suku baduy bisa dipastikan menjadi masyarakat yang sejahtera. Lewat UMKM berbasis digital dapat menambah pendapatan mereka.

Perilaku negatif ini sangat membutuhkan strategi yang benar benar dapat membawa perubahan, “baduy adalah Indonesia, dan Indonesia ada baduy”, begitulah kira-kira kalimat yang harusnya kita sadari bersama. Ketika kita ingin merubah sesuatu maka pertama kita harus memahami betul bagaimana kondisi tersebut, maka penulis menawarkan strategi yang tepat sangat diperlukan untuk mengubah perilaku ini tanpa merusak tradisi dan identitas mereka. Perlu antropologi dan pengabdian serta pendekatan kultural sebagai strategi utama. Menghormati tradisi dan kebiasaan mereka adalah kunci untuk mendapatkan kepercayaa dan Kerjasama. Seorang pengabdi harus benar benar masuk kedalam dunia suku baduy, bahkan harus menjadi baduy itu sendiri, sampai tiba waktunya nanti ketika pendekatan itu sudah terjalin, seorang pengabdi dapat dengan mudah “menghipnotis” pemikiran lama masyarakat adat baduy.

Romantisasi antar masyarakat suku baduy tak dapat terelakkan, damai, tenang, dan tentram meninggalkan jejak yang membuat siapapun terkagum. “tidak mungkin ada yang ingin masuk ke dalam adat baduy jika sudah menikmati dunia luar” begitulah kalimat yang dilontarkan oleh kepala adat suku baduy. “namun tak bisa dibohongi jika kami pun ingin membuka diri dengan dunia ini” lanjutnya. Kalimat ini semakin membuat rasa ketertarikan penulis untuk mengajak masyarakat baduy menerima dunia luar tanpa menghapus sedikit pun kearifan lokal yang mereka miliki. Tidakkah Indonesia perlu pendekatan ini sekarang juga? Ini bukan lah permasalahan kemiskinan, ini bukanlah permasalahan agama, bukan pula permasalahan kekerasan apalagi permasalahan gaya hidup. Ini permasalahan sosial yang hanya membutuhkan pendekatan antropologi, menjadikan baduy itu sendiri menjadi bagian kehidupan seorang pengabdi. “baduy adalah Indonesia, dan Indonesia ada baduy”.

Penulis: Eli Septiani Br Panjaitan, Mahasiswa Program Studi Ilmu Pemerintahan Universitas Jambi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *