OPINI

Memahami Kasus Pelanggaran HAM Rempang Dalam Presfektif Filsat Etika Dalam Hukum

×

Memahami Kasus Pelanggaran HAM Rempang Dalam Presfektif Filsat Etika Dalam Hukum

Sebarkan artikel ini

DISTRIKBERITA.COM| JAMBI, Proyek Rempang City, Salah satunya untuk pariwisata, jadi sangat tepat kalau melibatkan partisipasi masyarakat pemilik tanah kampung tua secara langsung dalam proyek pengembangan wilayah tersebut, bukan dengan cara merelokasi. Posisi mereka berbeda dengan masyarakat Pulau Rempang yang melakukan pendudukan atas tanah bekas perkebunan HGU, yang memang perlu pendekatan khusus.

“Perebutan lahan yang dilakukan pemerintah terhadap rakyatnya sendiri telah mencoreng nama baik Indonesia sebagai negara yang penuh tata krama dan sopan santun dalam bernegara”. Pernyataan itu disampaikan Guru Besar Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Hafid Abbas, sembari menuturkan, peristiwa di Rempang merupakan bentuk pelanggaran HAM berat.

“Khusus kasus Pulau Rempang, ini kejahatan negara pada rakyat sendiri. Kalau dilihat dari perspektif HAM, ini pelanggaran HAM berat,” tegas Hafid, pada acara Forum Guru Besar dan Doktor Insan Cita bertema “Pulau Rempang: Investasi, Hak Adat dan HAM”, secara virtual, Minggu malam (17/9).

Merujuk pada hal-hal prinsip yang dikemukakan PBB, disebutkan, penggusuran lahan warga yang dilakukan pemerintah merupakan perampasan terhadap hak dasar rakyat.

“Di situ jelas sekali, penggusuran paksa merupakan pelanggaran HAM berat, karena terkait hak-hak dasar warga yang digusur itu hilang. Jadi negara menyiksa, melakukan kebiadaban pada warganya sendiri,” tambahnya.

Jadi jika kita melihat dalam sudut prespektif filsatat etika yang memuat” justice” Pemerintah disini hanya mementingkan hak hak individu saja yaitu investor tetapi abai terhadap kepentingan masyarakat umum terutama masyarakat rempang, dengan prinsip prinsip yang mendasari Hak Asasi Manusia dan pertanyaan pertanyaan tentang bagaimana kita seharusnya memperlakukan satu sama lain. Beranjak dari landasan yuridis dan faktor kesejarahan penguasaan lahan atau tenurial oleh masyarakat , maka tidak ada pilihan lain bagi pemetintah pusat, daerah dan aparat keamanan untuk mengedepan penyelesaian konflik proyek Rempang Eco City ini dengan pendekatan yang humanis dalam bingkai penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM).

Bentrok yang terjadi pada 7 September lalu tidak boleh terjadi, karena kasus ini memiliki irisan yang kuat dengan upaya pemajuan Hak Asasi Manusia (HAM) yang sering disuarakan Pemerintah Indonesia dalam berbagai forum internasional. Jika dicermati lebih jauh, maka konflik Rempang Eco City akan berkaitan dengan kepatuhan terhadap prinsip HAM sebagai bagian dari etika bisnis yang tertuang dalam United Nations Guiding Principles on Business and Human Rights (UNGPs) atau Prinsip-Prinsip Panduan PBB tentang Bisnis dan HAM yang disahkan Komisi HAM PBB pada 2011.

UNGPs meletakkan tiga pilar bisnis dan HAM, yaitu tugas negara untuk melindungi HAM, tanggung jawab Korporasi untuk menghormati HAM, dan kewajiban Negara dan Korporasi untuk menyediakan akses bagi korban untuk mendapatkan pemulihan dari dampak pelanggaran HAM.

Dengan demikian, bahwa peran negara untuk melindungi HAM harus diwujudkan dengan memastikan agar proyek Rempang Eco City tidak memberikan dampak negatif pada hilangnya hak asasi masyarakat atas rasa aman, sumber penghidupan yang kayak, tempat tinggal, pendidikan, kesehatan dan hak atas perlakuan yang adil secara hukum. Negara juga perlu memastikan agar Korporasi mematuhi hak asasi yang melekat pada warga Rempang tersebut.
Sementara akses pemulihan bagi warga Rempang yang terkena dampak, termasuk akibat bentrok pada 7 September haruslah menjadi tanggung jawab negara, antara lain melalui Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Dasar klaim masyarakat Rempang atas sejarah penguasaan lahan yang telah ratusan tahun lamanya haruslah dilindungi dan dihormati layaknya pemerintah memberikan perlindungan dan penghormatan atas keputusan memberikan hak kepada korporasi yang akan mengelola investasi di proyek Rempang Eco City. Dialog yang setara untuk saling mendengarkan kepentingan masing-masing, dan mencari solusi yang berkeadilan dan berkemanfaatan harus di kedepankan, serta pendekatan refresif dan kekerasan harus dihilangkan.

Penulis : Xavier Yafi Ritonga, Mahasiswa Ilmu Hukum Universitas Jambi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *