Pekerja Awak Mobil Tangki (AMT) di PT Elnusa Petrofin Jambi diduga tidak mendapatkan hak mereka secara adil. Para sopir AMT mengeluhkan kurangnya transparansi terkait rincian gaji yang mereka terima. Dugaan pelanggaran ini semakin nyata ketika para sopir mengaku tidak pernah mendapatkan slip gaji yang mencantumkan rincian seperti besaran uang makan, uang lembur, atau tunjangan lainnya yang menjadi hak mereka. Hal ini menimbulkan ketidakpastian atas jumlah upah sebenarnya yang mereka terima.
Ketidaktransparanan Pengupahan
Beberapa sopir yang dipecat mengungkapkan bahwa uang jalan dan uang makan mereka tidak pernah dicatat secara rinci dalam slip gaji. Hal ini menyebabkan kebingungan di kalangan pekerja mengenai jumlah yang sebenarnya mereka terima. “Kami tidak tahu pasti berapa yang kami terima, karena tidak ada rincian yang jelas di slip gaji. Semua serba ambigu,” ujar X, salah seorang sopir yang baru-baru ini dipecat karena kesalahan kecil.
Sebagian sopir yang pernah bekerja melalui perusahaan outsourcing PT Lambang Azas Mulia (LAM), mitra PT Elnusa Petrofin, menyebutkan bahwa selama bertahun-tahun mereka tidak pernah mendapatkan rincian gaji yang jelas. Hal ini diduga melanggar Pasal 17 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang mewajibkan pengusaha mencatat dan memberikan rincian gaji secara transparan kepada pekerja. Selain itu, Peraturan Pemerintah No. 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan juga mengatur kewajiban pengusaha untuk memberikan bukti pembayaran yang mencakup seluruh komponen upah.
PHK Sepihak dan Potensi Pelanggaran Hukum
Salah satu keluhan paling mendalam datang dari masalah pemecatan yang dianggap sepihak dan tidak sah. X, yang telah bekerja selama hampir 10 tahun di perusahaan, menceritakan bahwa dirinya dipecat tanpa surat pemecatan resmi setelah dianggap melakukan kesalahan yang tergolong ringan. “Saya tidak diberi surat peringatan atau surat pemecatan. Tiba-tiba saya diberitahu bahwa saya tidak lagi bekerja. Itu sangat tidak adil,” ujar X, yang mengaku hanya menerima pesangon di bawah nominal Rp 2 juta meskipun telah bekerja selama hampir satu dekade.
Hal ini diduga melanggar Pasal 151 UU Ketenagakerjaan, yang mengatur bahwa pemutusan hubungan kerja (PHK) harus dilakukan melalui musyawarah dengan pekerja atau serikat pekerja. PHK sepihak tanpa dasar hukum yang jelas dapat dikenakan sanksi pidana sesuai Pasal 185 UU Ketenagakerjaan, dengan ancaman pidana kurungan hingga 4 tahun atau denda maksimal Rp400 juta.
Jerat Hukum untuk Dugaan Kejahatan Berkelompok
Jika terbukti ada unsur kejahatan yang dilakukan secara terorganisasi antara PT Elnusa Petrofin dan PT LAM, mereka dapat dijerat dengan pasal-pasal terkait tindak pidana perburuhan atau penipuan kolektif. Pasal 378 KUHP tentang penipuan dapat diterapkan jika ditemukan bukti penggelapan hak upah pekerja. Selain itu, pelanggaran terhadap hak-hak karyawan seperti ini juga dapat menjadi objek gugatan di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).
Profil PT Elnusa Petrofin dan PT Lambang Azas Mulia
PT Elnusa Petrofin adalah anak perusahaan PT Elnusa Tbk yang bergerak di sektor jasa distribusi bahan bakar dan energi. Di sisi lain, PT Lambang Azas Mulia merupakan perusahaan outsourcing yang menyediakan tenaga kerja, termasuk sopir AMT, untuk PT Elnusa Petrofin. Keterlibatan perusahaan outsourcing dalam dugaan pelanggaran ini menambah kompleksitas kasus, mengingat tanggung jawab terhadap hak-hak pekerja tidak boleh dialihkan sepenuhnya ke pihak ketiga.
Perlunya Investigasi dan Penyelesaian Hukum
Irwanda Nauufal Idris ketua DPW PWDPI Provinsi Jambi menegaskan bahwa PWDPI Jambi akan membersamai para sopir dalam menggugat perusahaan yang diduga telah melanggar hukum. “Kami tidak akan tinggal diam. Ini bukan hanya tentang upah, tetapi tentang martabat manusia yang diinjak-injak. Kami akan membawa kasus ini hingga ke tingkat pusat dan mendukung langkah hukum untuk menuntut hak para sopir,” tegasnya.
Para sopir AMT berharap keadilan dapat ditegakkan tanpa harus kehilangan pekerjaan yang menjadi sumber penghidupan mereka. Namun, pengalaman sebelumnya menunjukkan bahwa perjuangan mereka masih panjang. “Tahun lalu kami sudah demo, tapi hasilnya nihil. Kali ini kami berharap ada solusi nyata, apalagi dengan dukungan dari PWDPI,” ungkap salah seorang sopir yang tidak ingin disebutkan namanya.
Dugaan pelanggaran ini menunjukkan adanya indikasi eksploitasi pekerja yang dilakukan secara sistematis. Aparat penegak hukum dan Dinas Ketenagakerjaan perlu melakukan investigasi menyeluruh atas praktik pengupahan dan mekanisme PHK di perusahaan ini. Hak-hak pekerja harus dipulihkan, dan pihak yang bertanggung jawab harus diberikan sanksi tegas sesuai hukum yang berlaku.
Bagi para pekerja, langkah melaporkan kasus ini ke Dinas Ketenagakerjaan atau Pengadilan Hubungan Industrial adalah upaya hukum yang dapat ditempuh untuk mendapatkan keadilan atas hak-hak yang telah dirampas.
PT Elnusa Petrofin dan PT Lambang Azaz Mulia diharapkan segera memberikan klarifikasi atas tuduhan ini. Pemerintah dan Dinas Ketenagakerjaan pun didesak untuk turun tangan mengawasi pelanggaran ketenagakerjaan yang diduga terjadi di perusahaan ini.