DAERAHHUKUM DAN KRIMINALJAMBIOPINIPENDIDIKAN

Politik Hukum dan Krisis Pengawasan terhadap Pembentukan Undang-Undang di Indonesia

×

Politik Hukum dan Krisis Pengawasan terhadap Pembentukan Undang-Undang di Indonesia

Sebarkan artikel ini

Proses legislasi di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir memperlihatkan gejala yang mengkhawatirkan. Pembentukan undang-undang yang seharusnya menjadi sarana menegakkan prinsip negara hukum justru sering kali menjadi arena kompromi politik. Politik hukum yang idealnya berfungsi sebagai arah dan kendali dalam pembentukan hukum nasional tampak kehilangan daya pengawasannya terhadap kekuasaan legislatif dan eksekutif. Akibatnya, lahir berbagai produk hukum yang secara formil sah, tetapi secara moral dan substansi jauh dari nilai keadilan sosial.

 

Dalam teori yang dikemukakan oleh Mahfud MD, politik hukum memiliki dua fungsi utama: pertama, sebagai arah kebijakan negara dalam pembentukan hukum; kedua, sebagai alat kontrol terhadap kekuasaan politik agar tidak menyimpang dari cita hukum (rechtsidee). Namun dalam praktik, fungsi pengawasan ini sering kali lumpuh karena proses legislasi lebih dipengaruhi oleh konfigurasi politik ketimbang kebutuhan hukum masyarakat. Sehingga, alih-alih menjadi refleksi kehendak rakyat, undang-undang yang lahir justru sering kali mencerminkan kehendak elite kekuasaan.

 

Beberapa contoh undang-undang yang menegaskan krisis tersebut antara lain UU Nomor 1 Tahun 2024 tentang Mahkamah Konstitusi, UU Nomor 61 Tahun 2024 tentang Kementerian Negara, UU Nomor 64 Tahun 2024 tentang Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), dan RUU tentang Perubahan atas UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI). Pembentukannya berlangsung cepat, tertutup, dan minim partisipasi publik. Padahal, Pasal 5 huruf G Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan secara tegas mengatur bahwa asas partisipasi masyarakat adalah elemen penting dalam setiap proses pembentukan hukum. Mengabaikan asas tersebut sama saja dengan menafikan prinsip democratic rule of law, yang menjadi pilar utama negara hukum modern.

 

Lebih jauh, dalam asas check and balances, politik hukum seharusnya berperan memastikan bahwa kekuasaan legislatif tidak bertindak sewenang-wenang dalam menetapkan regulasi. Namun kenyataan menunjukkan bahwa relasi antara legislatif dan eksekutif kerap kali lebih bersifat kolusif ketimbang korektif. Inilah yang melahirkan krisis pengawasan dalam politik hukum, di mana hukum kehilangan fungsinya sebagai alat koreksi terhadap kekuasaan.

 

Krisis ini menunjukkan bahwa Indonesia tengah menghadapi tantangan serius dalam menjaga marwah negara hukum. Ketika pengawasan terhadap proses legislasi melemah, maka hukum rentan menjadi instrumen kekuasaan (instrument of power), bukan lagi instrumen keadilan (instrument of justice). Reformasi hukum yang sesungguhnya bukan hanya soal mengganti undang-undang, melainkan memastikan bahwa setiap produk hukum lahir dari proses yang terbuka, rasional, dan partisipatif.

 

Sudah saatnya politik hukum di Indonesia dikembalikan pada fitrahnya sebagai sistem nilai yang berpihak pada keadilan sosial. Tanpa mekanisme pengawasan yang kuat dan partisipasi publik yang bermakna, negara hukum akan kehilangan ruhnya. Hukum akan terus menjadi cermin politik yang buram mencerminkan wajah kekuasaan, bukan wajah keadilan.

 

Penulis:

Adjie Pramana Sukma, S.H.

Warga Sipil

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *