Oleh: Armando aktivis PMII Universitas Jambi
Kepercayaan publik terhadap pejabat dan proses politik menjadi salah satu pilar utama dalam menjaga kesehatan demokrasi. Namun, ketika mantan koruptor dilibatkan dalam tim pemenangan pasangan gubernur, hal ini dapat merusak prinsip dasar kejujuran dan transparansi yang harus dijunjung tinggi oleh setiap kandidat dan pemimpin politik. Fenomena ini tidak hanya mengancam moralitas publik, tetapi juga berpotensi menormalisasi praktik korupsi di ranah politik.
Ada beberapa nama para mantan koruptor didalam tim pemenangan Alharis-Sani sebagai berikut:
1. Zumi zola (mantan gubernur Jambi), sebagai ketua dewan pembina tim Alharis-Sani. Kasus korupsi suap ketok palu APBD Provinsi Jambi.
2. Antony Zeidra (mantan wakil gubernur Jambi), sebagai ketua dewan penasehat tim Alharis-Sani. Korupsi aliran dana bank Indonesia
3. Syahrasaddin (mantan sekda provinsi Jambi), sebagai dewan pakar tim Alharis-Sani. Korupsi aliran dana pramuka kwarda Jambi.
4. M Madel (mantan bupati sarolangun), sebagai dewan penasehat tim Alharis-Sani. Korupsi pembangunan dermaga ponton.
Mantan pelaku korupsi, meskipun telah menjalani hukuman, membawa stigma yang seharusnya diwaspadai. Integritas adalah hal yang sulit untuk dipulihkan setelah ternoda oleh kejahatan, terutama korupsi yang dampaknya sistemik bagi masyarakat luas. Masyarakat bisa saja menganggap bahwa keterlibatan mantan koruptor dalam tim pemenangan sebagai tanda bahwa korupsi adalah masalah yang “dimaklumi” di dunia politik, selama ada kekuatan politik yang kuat di belakangnya.
Lebih parahnya lagi, langkah ini dapat mendorong persepsi bahwa politik adalah arena bagi mereka yang mampu mengamankan kekuasaan, bukan untuk mereka yang memiliki kapabilitas dan integritas tinggi. Ketika politikus mengabaikan rekam jejak korupsi demi kemenangan elektoral, mereka memberi pesan salah kepada masyarakat, terutama generasi muda, bahwa masa lalu kelam di pemerintahan dapat dengan mudah disingkirkan begitu saja.
Dari sudut pandang mahasiswa, hal ini sangat meresahkan. Mahasiswa adalah agen perubahan, generasi yang diharapkan bisa memperbaiki kondisi bangsa di masa depan. Namun, bagaimana harapan itu bisa diwujudkan jika contoh yang mereka lihat dalam dunia politik justru merusak nilai-nilai kejujuran dan integritas? Bagi mahasiswa, keterlibatan mantan koruptor dalam politik adalah sinyal bahwa perjuangan melawan korupsi diabaikan, dan bahwa dosa-dosa lama dapat dengan mudah diampuni demi ambisi politik.
Mahasiswa, yang telah banyak terlibat dalam gerakan antikorupsi di berbagai kampus, melihat hal ini sebagai ancaman serius terhadap masa depan bangsa terutama di provinsi Jambi. Mereka menuntut politik yang bersih dan transparan, politik yang memprioritaskan kepentingan publik daripada kepentingan pribadi atau kelompok. Jika praktik melibatkan mantan koruptor dalam politik terus dibiarkan, bagaimana mahasiswa bisa yakin bahwa suara mereka dalam memperjuangkan keadilan akan didengar?
Selain itu, keterlibatan mantan koruptor dalam tim pemenangan Alharis-Sani ini bisa mencederai upaya pemberantasan korupsi yang selama ini diperjuangkan oleh banyak pihak di Provinsi Jambi, termasuk lembaga antikorupsi, masyarakat sipil, dan mahasiswa sendiri. Kolusi antara politikus dan mantan koruptor dapat membuka celah bagi kembalinya praktik-praktik curang di kemudian hari. Hal ini juga melemahkan kepercayaan publik terhadap komitmen pemerintah dalam memberantas korupsi.
Mahasiswa, sebagai bagian dari masyarakat yang terdidik dan kritis, juga merasa bahwa keterlibatan mantan koruptor dalam politik merusak esensi demokrasi itu sendiri. Mereka bertanya, apakah pemimpin yang didukung oleh individu dengan rekam jejak kelam benar-benar dapat membawa perubahan positif? Apakah nilai-nilai integritas dan kejujuran akan tetap diperjuangkan di bawah kepemimpinan yang kompromi dengan masa lalu yang korup?
Oleh karena itu, partisipasi mantan koruptor dalam dunia politik harus menjadi perhatian serius. Masyarakat, termasuk mahasiswa, perlu lebih kritis dalam menilai siapa saja yang terlibat dalam proses politik, karena demokrasi yang sehat hanya bisa tumbuh di atas landasan integritas, bukan di atas kompromi dengan masa lalu yang kelam.
Penolakan terhadap normalisasi korupsi harus terus digaungkan, terutama oleh kalangan mahasiswa yang memiliki idealisme tinggi. Karena ketika kita mulai mentoleransi keterlibatan mantan koruptor dalam politik, kita tidak hanya memperlemah demokrasi, tetapi juga membiarkan moralitas publik hancur sedikit demi sedikit. Mahasiswa harus berada di garis depan dalam menolak normalisasi ini, memperjuangkan politik yang bersih, dan menuntut keadilan serta integritas di setiap level kepemimpinan.