Menjelang Pilkada 2024, pemandangan yang familiar kembali menghiasi banyak daerah di Indonesia: para pemimpin daerah yang pernah memegang ‘Tombak” kekuasaan kini kembali turun ke lapangan, mencari suara dan dukungan dari rakyat yang pernah mereka pimpin. Janji perbaikan infrastruktur, layanan publik yang lebih baik, dan kesejahteraan masyarakat kembali menjadi topik utama kampanye mereka. Namun, di balik janji-janji ini, ada pertanyaan besar yang menghantui masyarakat: apakah kali ini mereka akan benar-benar menepati janji-janji tersebut, atau ini hanya sekadar retorika politik yang diulang setiap kali menjelang pemilihan?
Bak Cerita di bawa angin muncul istilah di masyarakat luas jelang Pilkada ini “ada kacang yang ingat kulitnya”. pepatah yang hendak di tujukan kepada para pemimpin yang tiba-tiba rajin turun ke lapangan dan menyentuh titik dasar (Grassroot) untuk menunjukkan kepedulian yang luar biasa, seolah-olah mengingat asal-usul mereka dan kembali mengabdi kepada rakyat yang telah memberikan mereka kekuasaan.
Seperti kacang yang ingat kulitnya, para pemimpin ini mendadak kembali mengunjungi daerah terpencil, menyalami warga, dan meresmikan proyek-proyek kecil yang telah lama dinantikan.
Namun, sebagian masyarakat juga sadar bahwa kacang sering kali hanya ingat kulitnya saat membutuhkan dukungan untuk berkuasa lagi.
Terdapat sebuah daerah yang kaya akan potensi namun menghadapi tantangan besar dalam infrastruktur dasar seperti jalan raya. Jalan-jalan yang rusak parah telah menjadi momok bagi masyarakat selama bertahun-tahun. Lubang-lubang besar yang mengancam keselamatan pengendara, serta jalan berlumpur yang tak bisa dilalui saat hujan deras, adalah pemandangan sehari-hari namun hanya bagi pengendara motor saja tidak untuk mobil-mobil mewah dan tinggi yang bisa melewati tanpa terkena cipratan lumpur. Tapi ada hal yang lebih menarik, setiap kali mendekati masa pemilihan, terlihat ada usaha mendadak dari pemerintah daerah untuk memperbaiki jalan-jalan ini.
Seorang Pemimpin yang berasal dari daerah ini terlihat akan mencalonkan diri nya kembali, namun akan disorot karena kebijakan infrastrukturnya. Selama masa jabatannya, banyak masyarakat yang mengeluhkan lambatnya perbaikan jalan dan kurangnya perhatian terhadap infrastruktur di unit desa.
Namun, mendekati Pilkada 2024, akan terlihat adanya peningkatan aktivitas perbaikan jalan di beberapa titik strategis. Alat berat mulai bekerja, material bangunan disiapkan, dan jalan-jalan yang tadinya diabaikan mulai mendapat sentuhan perbaikan.
Fenomena ini bukanlah hal baru dalam politik lokal Indonesia. Para pemimpin daerah sering kali menggunakan momen mendekati pemilihan untuk menunjukkan kepedulian dan tindakan nyata, dengan harapan dapat mengamankan kembali suara rakyat.
Tapi bagi masyarakat, tindakan ini sering kali dipandang skeptis. Mereka bertanya-tanya mengapa perbaikan ini tidak dilakukan jauh hari sebelumnya, saat kondisi jalan sangat memprihatinkan dan mempengaruhi kehidupan sehari-hari mereka.
Kritik pun muncul terhadap pola perbaikan yang hanya bersifat sementara dan tidak menyeluruh. Banyak yang khawatir bahwa jalan yang diperbaiki mendekati pemilihan hanya akan bertahan beberapa bulan, dan setelah itu kembali rusak karena pekerjaan yang dilakukan terburu-buru dan tidak berkualitas. Rakyat didaerah ini, dan masyarakat di daerah lain yang menghadapi situasi serupa, menuntut perbaikan yang berkelanjutan dan tanggung jawab jangka panjang dari para pemimpin mereka.
Di sisi lain, juga ada yang berpendapat meski motifnya mungkin politis, setidaknya ada upaya nyata yang dilakukan untuk memperbaiki infrastruktur. Bagi mereka, yang penting adalah hasil akhirnya jalan yang lebih baik dan aman untuk digunakan. Namun, pandangan ini juga membawa konsekuensi bahwa rakyat bisa saja terperangkap dalam siklus politisasi infrastruktur, di mana perbaikan hanya dilakukan saat ada kepentingan politik yang mendesak.
Narasi diatas memberikan pelajaran penting tentang dinamika politik lokal dan hubungan antara pemimpin dan rakyatnya. Pemimpin lokal yang kembali mencalonkan diri memiliki tanggung jawab besar untuk tidak hanya memanfaatkan masa kampanye untuk menunjukkan kerja nyata, tetapi juga memastikan bahwa kebijakan dan tindakan mereka selama menjabat selalu mengutamakan kepentingan masyarakat. Janji-janji kampanye harus direalisasikan menjadi program kerja yang berkelanjutan, bukan sekadar alat untuk meraih kembali kursi kekuasaan.
Menjelang Pilkada 2024 ini, para pemimpin daerah di seluruh Indonesia perlu belajar dari masa lalu dan berkomitmen untuk perubahan yang nyata dan berkelanjutan. Masyarakat semakin cerdas dan kritis dalam menilai kinerja pemimpin mereka. Jalan-jalan yang diperbaiki mendekati pemilihan mungkin dapat memberikan dampak jangka pendek dalam mengamankan suara, tetapi keberhasilan sejati seorang pemimpin diukur dari seberapa besar perubahan positif yang mereka bawa dalam jangka panjang bagi daerah dan warganya.
Penulis : Frinanda Wijaya Hsb, Mahasiswa Ilmu Pemerintahan, Universitas Jambi