Gimik atau gimmick adalah trik atau alat yang sengaja digunakan untuk menarik perhatian atau membujuk orang untuk membeli sesuatu, menerima, sesuatu, atau terbeli keyakinannya akan sesuatu. Istilah gimik dapat dikaitkan dengan berbagai konteks, termasuk konteks politik.
Dalam Debat Pemilu 2024, istilah “gimmick” muncul, baik dalam debat calon presiden (Debat Capres) maupun debat calon wakil presiden (Debat Cawapres). Istilah ini merujuk pada pertanyaan cawapres dan gestur capres serta cawapres di panggung.
Dalam Pemilu 2024, 56% atau sekitar 106.358.447 orang dari total pemilih di Indonesia merupakan milenial dan Gen Z. Pergeseran ini memengaruhi strategi kampanye politik, dengan penekanan yang lebih besar pada media sosial untuk menjangkau pemilih muda.
Perubahan ini paling terlihat jelas dalam kontestasi antara para kandidat presiden dan wakil presiden. Dominasi strategi kampanye yang berorientasi pada kaum muda, sering kali tidak memiliki muatan yang substansial. Absennya–atau minimnya–substansi dalam materi kampanye menimbulkan pertanyaan kritis tentang masa depan dialog politik dan demokrasi di Indonesia.
Ketergantungan yang berlebihan pada strategi kampanye dan slogan-slogan yang menarik terlihat sangat jelas dalam taktik-taktik kampanye seperti gemoy dari Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, slepet dari Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, dan “sat-set” dari Ganjar Pranowo-Mahfud MD. Meskipun strategi ini sukses menarik perhatian para pemilih muda, pendekatan ini juga berisiko menyederhanakan proses pemilu dan mengurangi penelaahan yang serius terhadap kebijakan dan prestasi para kandidat.
Kampanye Prabowo-Gibran, sebagai contoh, yang secara khusus menarik sebagian besar segmen milenial dan Gen Z di platform media sosial seperti TikTok, mengkonfirmasi tren ini. Pendekatan mereka, meskipun berhasil menarik perhatian, menimbulkan kekhawatiran tentang kedalaman dan substansi wacana politik. Penekanan pada gemoy, sebuah istilah yang menggambarkan pesona imut, mungkin berresonansi dengan tren yang disukai kaum muda. Akan tetapi, diperlukan upaya lebih lanjut untuk memberi informasi kepada mereka tentang sikap para kandidat terhadap isu-isu nasional yang penting. Strategi ini mencerminkan tren global yang lebih luas di mana politik semakin menjadi hiburan, didorong oleh logika algoritma media sosial daripada kebutuhan musyawarah dari masyarakat yang demokratis.
Anies–Muhaimin dan Ganjar–Mahfud juga merumuskan slogan-slogan yang sejalan dengan pendekatan mereka. Dengan demikian, lanskap politik di Indonesia telah mengalami transformasi penting. Slogan-slogan ini mencerminkan perubahan strategis dalam kampanye politik. Penekanan pada kampanye tradisional yang menitikberatkan pada kebijakan kandidat kini bergeser pada penciptaan momen-momen viral di media sosial.
Pengaruh dari gimmick seperti itu tidak hanya terbatas pada kandidat presiden dan wakil presiden. Hal serupa juga terlihat dalam strategi partai politik seperti Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Tren joget “PAN-PAN-PAN” dan slogan politik santuy dari PSI merupakan contoh yang paling mudah dijumpai.
Dua partai ini menyoroti sebuah tren yang memprihatinkan di mana daya tarik hiburan dan slogan-slogan mengaburkan substansi wacana politik. Meskipun penting untuk menarik perhatian demografi yang lebih muda, tetapi metode yang digunakan untuk menarik perhatian mereka menimbulkan pertanyaan tentang dampak jangka panjang terhadap literasi politik dan kualitas demokrasi.
Contoh dari pilkada adalah pada calon gubernur Jambi RH. Pendekatan yang digunakan RH adalah dengan memasang baliho/poster yang dibuat dengan AI (Artificial Intelligence), yang mana dengan penggunaan strategi ini dapat menarik minat dan penasaran dari Gen-Z.
Namun bukan hanya dari calon gubernur Jambi saja, dari beberapa calon walikota Jambi juga ada yang menggunakan pendekatan serupa, yaitu berupa baliho dan poster yang sama untuk menarik minat Gen-Z. Bahkan ada calon wali kota yang menggunakan strategi dengan mengadakan perlombaan.
Meskipun hal ini merupakan fenomena global, namun ada implikasi khusus dalam konteks Indonesia, mengingat profil demografis dan tantangan yang kompleks di negara ini. Kebutuhan Indonesia saat ini adalah adanya wacana politik yang kaya akan substansi, berdasarkan pada realitas, dan berfokus pada masa depan.
Strategi kampanye yang minim mengelaborasi substansi mungkin saja merupakan metode kampanye yang inovatif yang secara efektif menarik perhatian publik. Meski demikian, metode ini menimbulkan kekhawatiran akan dampaknya terhadap kemampuan pemilih untuk membuat keputusan rasional dalam memilih. Kecenderungan untuk mengkomodifikasi proses politik ini menimbulkan risiko yang sangat besar.
Metode ini berpotensi mengubah pemilu menjadi kompetisi untuk memperebutkan perhatian (buzz) di media sosial, alih-alih membangun diskusi substantif mengenai kebijakan dan tata kelola pemerintahan. Pendekatan seperti ini dapat mengurangi perdebatan serius yang sesungguhnya sangat diperlukan untuk proses demokrasi yang sehat.
Meskipun merupakan demografi pemilih yang signifikan, kaum muda bukan hanya sekadar angka yang harus dimenangkan; mereka adalah pewaris tantangan serta kemenangan bangsa di masa mendatang. Menyikapi keprihatinan dan aspirasi mereka membutuhkan lebih dari sekadar slogan-slogan yang viral; diperlukan keterlibatan yang tulus dengan ide-ide dan visi yang sejalan dengan kebutuhan kaum muda untuk masa depan.
Sangat ironis ketika para pemimpin politik berjanji membangun ‘generasi emas’, namun strategi kampanye mereka tidak banyak membantu memberdayakan kaum muda untuk membentuk masa depan mereka. Sebaliknya, strategi ini justru memposisikan pemilih muda hanya sebatas sebagai alat untuk mencapai kemenangan dalam Pemilu.
Penekanan yang berlebihan pada taktik kampanye yang dangkal juga memiliki implikasi yang lebih luas bagi demokrasi Indonesia. Hal ini berisiko menciptakan budaya politik yang mengutamakan gaya daripada substansi dan mengesampingkan isu-isu krusial yang dihadapi bangsa demi konten yang viral. Tren ini mengancam kualitas tata kelola pemerintahan yang demokratis dan kewarganegaraan yang terinformasi.
Lebih baiknya, demokrasi tumbuh subur dari perdebatan yang terinformasi dan keterlibatan kritis terhadap isu-isu kebijakan, bukan dari daya tarik viralitas dari tipu muslihat kampanye. Hal ini mencakup fokus pada isu-isu kebijakan, merespons kekhawatiran pemilih, dan menciptakan lingkungan yang mendorong pemikiran kritis dan debat yang terinformasi.
Penulis : Akmal Muhajir ( Mahasiswa Ilmu Pemerintahan Universitas Jambi)