OPINI

Konflik Rempang: Prespektif Filsafat Hukum Utilitanisme

×

Konflik Rempang: Prespektif Filsafat Hukum Utilitanisme

Sebarkan artikel ini

Kasus Pososi

Konflik lahan antara warga, dengan aparat, pemerintah, serta investor, kembali terjadi. Konflik pecah di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau, yang rencananya lahan tersebut akan disulap menjadi kawasan industri sekaligus wisata hijau bernama Rempang Eco City.  Puncak konflik ini terjadi di Jembatan Barelang IV pada kamis   (7/9/2023), saat im terpadu yang terdiri dari Polri, TNI, Satpol PP, dan Badan Pengusahaan Batam (BP Batam) hendak melakukan pengukuran dihadang oleh warga yang tak menerima proyek tersebut.

Pulau rempang yang memiliki luas 165 km persegi yang masuk ke dalam pemerintahan kota Batam, terletak 3 kilometer dari batam ini, terdapat 16 kampung adat yang menjadi tempat tinggal suku Melayu, suku Orang laut, dan suku Orang Darat. Mereka merupakan penduduk asli Batam yang secara turun-temurun telah mendiami pulau rempang sejak 1834.  

Perlu dipahami bahwasannya tanah yang menjadi pusat konflik itu merupakan tanah adat. Tanah adat yang memiliki ragam nilai budaya, historis, dan spiritual yang dikelola tumbuh dan berkembang bersama masyarakat adat. Dimana masyarakat adat mempunyai hak ulayat terhadap tanah tersebut hai ini didasarkan pada pasal 18B UUD 1945 tentang hak ulayat.

Namun disisi lain menurut Mahfud MD Negara sudah memberikan hak tanah tersebut kepada perusahaan sejak tahun 2001-2002. Akan tetapi, karena tanah tersebut tidak kunjung digarap dan ditengok, pada tahun 2004 pemerintah memberikan hak tanah kepada pihak lain untuk ditempati. Kekeliruan mengenai status tanah yang tumpang tindih, menurut Mahfud, datang dari pemerintah setempat dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Masalah muncul ketika investor masuk ke Rempang pada 2022 dan mendapati tanahnya ditempati oleh penduduk, sehingga langkah pun diambil untuk mengosongkan pulau tersebut.

Prespektif filsafat hukum utilitanisme

Kekayaan sumberdaya alam dipahami oleh pemerintah sebagai modal penting dalam penyelenggaran pembangunan nasional untuk mengejar target pertumbuhan ekonomi dan sekaligus pertumbuhan ekonomi dijadikan sebagai paradigma pembangunan nasional, sehingga; seperti yang terlihat, eksploitasi sumberdaya hutan secara besar-besaran dengan dalih pertumbuhan ekonomi nantinya akan berakibat trickle down effect, dan diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan. Akan tetapi, pada kenyataannya eksploitasi progresif justru menyebabkan ketidakadilan bagi masyarakat yang tinggal di wilayah hutan khususnya masyarakat adat.

Ketidakadilan terhadap masyarakat adat dapat dikatakan sebagai implikasi praktis utilitarianisme yang telah dijadikan sebagai moral politik. Utilitarianisme sebagaimana dikatakan Will Kymlicka dapat membenarkan dikorbankannya anggota masyarakat yang lemah dan yang tidak populer demi keuntungan mayoritas. Utilitarianisme tidak mengatakan kewajiban untuk mencapai akibat baik dalam cara yang adil.

Menurut jeremy Bentham  tujuan hukum adalah memberikan kemanfaatan dan kebahagiaan terbesar kepada sebanyak-banyaknya warga masyarakat. Jadi, konsepnya meletakkan kemanfaatan sebagai tujuan utama hukum. Maka berlandaskan hal ini perlu dikaji lebih mendalam lagi terkait kebijakan pembangunan kawasan industri sekaligus wisata hijau di pulau rempang tersebut. Apakah nantinya investasi ini akan memberikan dampak yang lebih baik bagi masayarakat atau malah sebaliknya, karena pada dasarny Investasi itu harus dikembalikan pada tujuan asalnya yaitu kemaslahatan masyarakat, dan masyarakat tidak boleh menjadi korban.

Kemudian perlu pulak dikaji menganai lahan pembangunan tersebut, tidak seharusnya aparat pemerintah dengan paksa untuk melakukan pengosongan lahan tersebut. Annisa Azzahra, Staff Advokasi PBHI, menyebut, saat ini yang terjadi di Pulau Rempang merupakan keberulangan atas kasus-kasus perampasan tanah milik masyarakat demi kepentingan investasi untuk negara. Hal semacam ini terus terjadi karena adanya pembiaran atas pelanggaran hak warga yang menempati tanah tersebut dari pemerintah. 

Konflik yang terjadi di Rempang adalah kesekian kalinya warga terdampak oleh pembangunan yang mengatasnamakan ekonomi. Hal ini menunjukkan bahwa ketika terjadi pembebasan lahan, solusinya tidak semudah memberikan tempat tinggal baru. Ketika warga direlokasi, mereka bukan hanya diminta untuk “pindah”, tapi juga diminta untuk meninggalkan ruang hidup dan sejarah yang mereka miliki di tempat itu. Sudah saatnya negara memikirkan ulang bagaimana caranya melakukan pembangunan tanpa mencederai hak masyarakat.

Penulis : Siti Auda, Mahasiswa Ilmu Hukum Universitas Jambi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *