DAERAHEKONOMIHUKUM DAN KRIMINALJAMBIOPINIPENDIDIKAN

Tahura Senami: Cermin Gagalnya Negara Menjaga Hutan dan Hukum

×

Tahura Senami: Cermin Gagalnya Negara Menjaga Hutan dan Hukum

Sebarkan artikel ini

Oleh : Dandi Bratanata

Mahasiswa Hukum UNJA

 

Jika hutan adalah paru-paru negeri, maka Tahura Senami kini seperti paru-paru yang dibiarkan berlubang. Kasus pengeboran minyak ilegal di kawasan konservasi ini bukan sekadar soal hukum lingkungan melainkan tragedi sistemik yang memperlihatkan betapa bobroknya koordinasi, pengawasan, dan integritas aparatur negara.

 

Puluhan sumur ilegal beroperasi terang-terangan di kawasan hutan lindung yang semestinya steril dari aktivitas eksploitasi. Bahkan setelah ledakan maut pada Februari 2025 yang membakar tiga pekerja hingga sekarat, aktivitas pengeboran tetap terjadi. Siapa yang harus bertanggung jawab? Jawabannya bukan hanya “pelaku”, tapi seluruh sistem yang membiarkan ini terjadi.

 

Negara Absen di Wilayahnya Sendiri

Masyarakat mengenal Tahura sebagai kawasan hutan konservasi yang dijaga UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Namun realitanya, kawasan ini malah menjadi zona operasi industri ilegal yang berlangsung bertahun-tahun tanpa penindakan tegas. Bukti paling nyata? Banyak pelaku masih buron, dan sumur yang terbakar dibiarkan menyala berbulan-bulan.

 

Tudingan keterlibatan oknum aparatur desa dan aparat keamanan bukan isapan jempol. Skema “fee 30 persen” yang disebut-sebut digunakan untuk membungkam media dan menutupi jejak, adalah tamparan keras bagi kredibilitas institusi penegak hukum.

 

Bahkan Ketua RT diduga menjadi ‘koordinator lapangan’ distribusi minyak. Jika dugaan ini benar, artinya negara tidak sekadar lemah tapi secara diam-diam ikut melindungi kejahatan.

 

Penegakan Hukum: Gagah di Permukaan, Kosong di Dalam

 

Polda Jambi dan Polres Batanghari memang rajin merilis berita penertiban, penyitaan, dan penghancuran sumur ilegal. Tapi hasilnya nihil jika para pemodal utama seperti Sitanggang, Ucok Padang Lawas, Dikun, hingga DK, KT, dan IG masih berkeliaran bebas. Penangkapan pelangsir kecil seperti Fajar hanyalah kosmetik hukum bukan solusi struktural.

 

Mengapa pemodal besar selalu lolos? Apakah karena kekuatan uang mereka mampu menembus dinding hukum? Ini pertanyaan yang perlu dijawab secara jujur oleh aparat dan pejabat daerah.

 

Kerusakan yang Tak Akan Sembuh

Kerusakan Tahura bukan sekadar soal ekologi yang tercemar minyak mentah. Lebih parah dari itu, kawasan konservasi ini telah berubah menjadi ladang bisnis kriminal. Setiap lubang bor yang menganga di tanah hutan adalah simbol gagalnya amanat konstitusi untuk menjaga sumber daya alam demi kemaslahatan rakyat.

 

Masyarakat di sekitar Tahura kini hidup di tengah bom waktu ekologi dan sosial. Hutan rusak, potensi kebakaran besar mengancam, dan hukum telah kehilangan wibawanya. Bila tak segera dihentikan, ini bukan lagi kriminalitas melainkan pengkhianatan terhadap masa depan generasi mendatang.

 

Penutup: Negara Harus Hadir Secara Utuh

Pemerintah Provinsi Jambi, Ditjen Gakkum KLHK, dan institusi penegak hukum tak bisa terus bersembunyi di balik konferensi pers. Butuh tindakan nyata: tangkap para pemodal utama, audit keterlibatan oknum desa hingga dinas kehutanan, dan pulihkan kawasan Tahura dengan program pemulihan ekosistem yang nyata.

 

Tahura Senami harus diselamatkan. Bukan untuk citra, bukan untuk panggung politik, tapi untuk menegakkan keadilan ekologis. Jika negara masih punya wibawa, maka inilah saatnya membuktikan. Bukan besok, bukan nanti tapi sekarang juga.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *