Peristiwa penembakan misterius (PETRUS) merupakan peristiwa pelanggaran HAM berat yang pernah terjadi di Indonesia.Peristiwa ini terjadi pada saat era rezim Orde Baru dibawah kepemimpinan Presiden Soeharto yang masih berkuasa saat itu.Tepatnya pada tahun 1982-1985
Orang-orang yang dianggap meresahkan ketertiban dan keamanan masyarakat, di tangkap lalu ditembak.Banyak juga dari keberadaan mereka mendadak hilang dan tak diketahui kabarnya sampai saat ini.
Lalu siapakah pelaku petrus ini? Pada awalnya tidak ada yang tahu. Untuk itulah dinamakan dengan penembakan misterius
Pada awalnya pemerintah membantah bahwa mereka terlibat dalam petrus,Namun Dalam otobiografi, Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, Soeharto mengungkapkan bahwa petrus bertujuan untuk memberi efek jera terhadap para penjahat.
“Ya,harus dengan kekerasan. Tapi kekerasan itu bukan lantas dengan tembakan, dor!dor!begitu saja.Bukan! Tetapi yang melawan , ya, mau tidak mau harus ditembak.” Ungkap penguasa Orde Baru Itu.
Di masa orde baru, para preman atau residivis yang melakukan kejahatan biasa disebut gali (gabungan anak liar).
Beragam versi pemberitaan tentang korban petrus bertebaran,salah satu versi mengatakan bahwa operasi petrus ini telah memakan korban hingga tiga ribu orang bahkan lebih, korbannya meliputi dari penjahat, residivis, preman, pihak-pihak yang dianggap resisten menganggu Pemerintahan Orde Baru dan disebutkan juga banyak korban salah target dari operasi petrus.
Dikarenakan pada masa itu operasi petrus masih dianggap efektif untuk menumpas kejahatan, maka operasi ini terjadi pada beberapa daerah di Indonesia.Meski dianggap efektif menangani pelaku kejahatan, namun operasi ini tergolong dalam pelanggaran HAM atau tidak?
Dalam konferensi persnya pada awal Januari 2023 Presiden RI ke 7 mengakui dan menyesalkan atas terjadinya 12 peristiwa pelanggaran HAM berat di Indonesia yang terjadi pada masa lalu, salah satunya peristiwa penembakan misterius (PETRUS).
“Saya menaruh simpati dan empati yang mendalam kepada para korban dan keluarga korban. Oleh karena itu ,yang pertama saya dan pemerintah berusaha untuk memulihkan hak-hak para korban secara adil dan bijaksana” Kata Presiden RI ke 7 dalam konferensi pers.
Pernyataan Presiden RI ke 7 disambut dengan beragam respons dari orang-orang yang dimasa lalu terlibat dalam peristiwa tersebut, seperti keluarga korban salah sasaran, hingga para pegiat HAM.
”PENGADILAN JALANAN”. Peristiwa ini termasuk dalam golongan kasus pelanggaran hak asasi manusia, karena telah mengadili seseorang tanpa proses hukum yang berlaku, pelanggaran hak asasi yang dilakukan dalam Petrus ini adalah menghakimi siapa saja yang dinilai sebagai pelaku criminal, kejahatan dan lain-lain.Pada tahun 1983, tercatat sebanyak 532 orang tewas dan 367 tewas karena luka tembak diduga Koran penembakan misterius.Kemudian, pada tahun 1984 ada 107 orang tewas dan pada 1985 sejumlah 74 orang tewas,28 diantaranya tewas karena ditembak.
Sepanjang tahun 1983, berita ditemukannya mayat yang bergeletakkan di tepi jalan, di bawah jembatan, atau di area persawahan, sudah menjadi keseharian bagi warga.Kebanyakan dari mereka kondisinya tewas dalam keadaan babak blur.Dan yang pasti , orang-orang tak bernyawa ini memiliki tato diatas kulitnya.
“Kembali berkaca pada statement Presiden RI ke 7 diatas, 2 kata kunci.Dia mengakui, menyesali yang muncul 2 kata kunci itu, tapi yang hilang banyak,” dalam pidato itu Presiden RI ke 7 tidak menyinggung soal pelakunya dan jumlah korban.
Presiden RI ke 7 juga tidak menyampaikan apa yang bakal dilakukan oleh Negara, terhadap korban dan keluarganya yang selamat dari peristiwa pelanggaran HAM.
“Ini semua hilang dari statement Presiden RI ke 7.Jadi dari 2 kata kunci itu saja Presiden RI ke 7 kembali menunjukkan wajah aslinya, seperti yang dilakukan sejak 2014 yaitu hanya kebohongan lagi dan hanya sebatas kalimat penenang untuk para korban dan keluarganya yang selamat dari peistiwa pelanggaran HAM.”
Tidak ada perspektif korban sama sekali.Perspektifnya hanya perspektif penguasa.Ujungnya masyrakat juga sudah terbaca nantinya aka nada, peradilan- peradilan fiktif yang tujuannya untuk mencuci dosa.
“Nanti tinggal bilang kepada masyarakat banyak bahwasanya, sudah diadili tapi memang buktinya tidak cukup saja.Memang konstruksinya saja yang tidak kuat.Padahal mereka yang menyusun buktinya, mereka juga yang melemahkan konstruksinya,” padahal pemerintah sebenarnya bisa dan berwenang melakukan penyelidikan ulang.
Terlepas dari apapun versinya, yang jelas petrus merupakah salah satu kejahatan HAM masa lalu yang hingga saat ini ,kasus petrus belum juga menemukan titik terang siapa yang salah dan siapa yang harus bertanggung jawab atas peristiwa petrus yang memakan banyak korban ini.
Penulis: CHARLES KURNIAWAN
Wakil Ketua Departemen PERS,Himpunan Mahasiswa Ilmu Hukum