ARTIKELOPINIPENDIDIKAN

PENGAMANAN TNI TERHADAP KEJAKSAAN: URGENSI ATAU POLITIS?

×

PENGAMANAN TNI TERHADAP KEJAKSAAN: URGENSI ATAU POLITIS?

Sebarkan artikel ini

Di tengah dinamika politik dan hukum yang sedang berkembang, muncul polemik terkait keterlibatan TNI dalam pengamanan institusi Kejaksaan. Fenomena ini mencuat seiring terbongkarnya berbagai kasus mega korupsi yang melibatkan aktor-aktor besar dan menjadikan Kejaksaan sebagai institusi yang saat ini sangat diandalkan pemerintah dalam pemberantasan korupsi.

 

Namun, timbul pertanyaan mendasar: Apakah keterlibatan TNI dalam pengamanan Kejaksaan sudah sesuai dengan hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia?

 

Mengacu pada UU Nomor 3 Tahun 2025 tentang Perubahan atas UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, terdapat perubahan signifikan mengenai posisi-posisi yang dapat diisi oleh prajurit aktif TNI tanpa harus mengundurkan diri. Namun, jika keterlibatan tersebut melibatkan penempatan TNI pada pos-pos pengamanan sipil seperti Kejaksaan tanpa dasar hukum yang kuat, maka hal ini dapat menimbulkan polemik konstitusional.

 

Perlu ditegaskan, bahwa TNI memiliki tupoksi (tugas pokok dan fungsi) yang jelas, yaitu menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah NKRI, dan melindungi segenap bangsa dari ancaman militer maupun bersenjata. Sebaliknya, urusan keamanan dalam negeri merupakan domain POLRI, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang menyebutkan bahwa Polri adalah alat negara yang bertugas memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat.

 

Keterlibatan TNI dalam pengamanan Kejaksaan yang hanya berdasar pada Nota Kesepahaman (MoU) antara Kejaksaan Agung dan TNI, tanpa landasan hukum setingkat undang-undang, tentu menimbulkan kerancuan dalam praktik negara hukum yang demokratis. MoU bukanlah sumber hukum yang sah untuk membenarkan penugasan TNI dalam ranah sipil.

 

Pertanyaan besar pun muncul: Mengapa penugasan ini tiba-tiba muncul? Apakah benar-benar karena alasan urgensi pengamanan, atau justru ada motif politis di baliknya?

 

Isu ini menjadi semakin sensitif setelah mencuatnya dugaan intimidasi terhadap Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, Febrie Adriansyah, terkait penanganan kasus korupsi timah yang melibatkan kekuatan ekonomi dan politik besar. Dalam konteks ini, muncul kecurigaan bahwa penempatan TNI di Kejaksaan merupakan upaya perlindungan ekstra sekaligus manuver politik, terutama di era Presiden Prabowo Subianto, mantan Jenderal Kopassus, di mana militer kembali mendapatkan peran signifikan di ruang sipil.

 

Jika benar demikian, maka ini adalah kemunduran demokrasi. Penempatan TNI dalam posisi yang tidak sesuai dengan konstitusi tidak hanya menyalahi aturan, tetapi juga membebani anggaran negara tanpa transparansi. Lebih jauh lagi, hal ini bisa menjadi preseden buruk dalam tata kelola negara hukum: bahwa kekuasaan bisa digunakan untuk mengubah aturan demi kepentingan kelompok tertentu, bukan demi keadilan.

 

Negara ini tidak sedang dalam keadaan darurat militer maupun darurat sipil. Maka, tidak ada justifikasi yang cukup kuat bagi militer untuk masuk ke ruang sipil, kecuali jika aturan hukum yang sah telah mengaturnya secara eksplisit dan melalui mekanisme demokratis (DPR dan judicial review).

 

Oleh karena itu, keterlibatan TNI dalam pengamanan Kejaksaan bukan hanya persoalan teknis atau administratif, tetapi menyangkut prinsip dasar negara hukum, demokrasi, dan supremasi sipil atas militer. Jika kita membiarkan ini terjadi tanpa kontrol publik, maka keadilan dan kedaulatan rakyat yang dijamin dalam sila ke-5 Pancasila hanyalah slogan kosong.

 

Keadilan dan kedaulatan dalam negara ini sejatinya adalah milik rakyat, bukan milik segelintir elite yang mampu mengubah aturan demi kepentingan politik.

 

Oleh : Dina Herawati Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Jambi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *