ARTIKELDAERAHJAMBIOPINIPENDIDIKANPOLITIK

Pemilu Masih Berantakan

×

Pemilu Masih Berantakan

Sebarkan artikel ini

Pemilihan umum ( Pemilu ) adalah ajang bergengsi 5 tahunan untuk memperebutkan tahtah kekuasaan. dengan proses pertarungan mencuri simpati dan hati masyarakat agar mendapatkan banyak suara guna memantapkan diri menjadi pemegang kekuasaan. Pemilu juga dianggap sebagai salah satu proses dalam penjalanan demokrasi, yang mana di harapkan dalam pemilu terjadi persaingan ide atau gagasan yang berguna untuk menunjang kemajuan di daerah atau negara.

Di indonesia sendiri menganut sistem pemilihan langsung, yang mana calon – calon pemimpin daerah (eksekutif) atau perwakilan mereka di negara ( legislatif) di lakukan secara langsung dengan cara di coblos, sistem inilah yang kemudian diharapkan agar para calon wakil rakyat dan pemimpin rakyat dapat membangun kemistri yang baik dengan rakyat yang akan memilih mereka.

Tetapi sistem pemilihan terbuka yang telah di terapkan di indonesia kemudian memiliki sisi negatif yang tak kalah penting dan runyam, di mana sistem pemilihan seperti ini akan sangat rentan terjadi kecurangan dalam penjalannnya. Terbukti dari data survey yang di lakukan SPD pada 3 provinsi besar di indonesia pada pemilu 2024 ada sekitar 60 % responden mengatakan bahwa mereka menerima politik uang pada ajang pemilu. Persentase yang menolak politik uang pada 2019 ke 2024 menurun sekitar 1,9% yang membuat sistem pemilihan yang sekarang kita lakukan sangat buruk dan terjadi banyak praktik kecurangan dalam penjalannya.

Peran penting Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan badan Pengawas Pemilu ( bawaslu) sangat di harapkan dapat menekan angka kecurangan dan praktik politik uang dalam proses berjalannya pemilu, dengan cara perancangan regulasi yang baik dan pengawasan yang ketat.

Tetapi kemudian harapan itu seperti omong kosong belaka, terbukti dari pertama kali pemilu di lakukan (2004) sampai sekarang tidak kunjung ada penekanan kecurangan ( politik uang) pada pemilu. Tercatata sejak 2004 praktik politik uang di indonesia sudah di lakukan dari laporan beberapa LSM pada waktu itu. Meranjak ke tahun 2009 Burhanudin Muhtadi pada penelitiannya memaparkan bahwa ada sekitar 11,2% ( dilakukan dengan poling) masyarakat yang menerima politik uang .

Kemudian angka itu terus bertambah pada pemilu 2014 di mana tercatat ada sekitar 29% masyarakat yang menerima politik uang. Angka itu semakin bertambah pada pemilu 2019 dari survey LIPI yang menerima politik uang menjadi 40% yang membuat negara kita Indonesia menjadi negara ke 3 dengan penggunaan praktik politik uang di dunia, di 2024 angkanya sedikit menurun menjadi 35%.

Dari data yang di paparkan menunjukan bahwa peran KPU dan Bawaslu pada ajang pemilu sangat – sangat buruk dan semakin buruk. Regulasi yang sudah di ciptakan oleh KPU dan Bawaslu sepertinya hanya bukti seremonial belaka, bukannya berbenah dan memperbaiki kinerja, KPU melalui tulisan yang di publis di web resmi KPU.go.id justru membuat data sankalan dengan memaparkan survey yang mereka lakukan bahwa paktek politik uang tidak menjadi alasan orang memilih calon, dengan fokus penelitian di tabalong sebuah kabupaten di Kalimantan Selatan KPU memaparkan bahwa 81% responden mengatakan bahwa akan tetap memilih mesiki tidak di berikan imbalan, 13% mengaku tidak bersedia.

Tidak hanya KPU dan Bawaslu partai politik di indonesia di nilai gagal membentuk para calon wakil rakyat dari partai mereka hal ini berkesinambungan dari data di mana calon – calon wakil rakyat itulah yang sebenarnya menawarkan uang kepada para calon pemili bukannya memberi pendidikan politk kepada masyarakat sebaliknya justru mereka yang terlibat pada praktik – praktik kecurangan dalam pemilu, embel – embel nasionalis dan agamis yang melekat pada masing – masing partai tidak sejalan dengan perilaku yang mereka lakukan.

Dari wawancara yang saya lakukan ke salah satu DPC partai di jambi peraktik politik uang (money politik) memang di lakukan pada proses pemilu dengan nama lain (cost politik) , mereka beralasan pemberian uang yang di lakukan agar masyarakat mau datang ke TPS untuk memilih dan tidak golput.

Sebenarnya alasan yang di temui sejalan dengan data yang ada dimana
Tahun Pemilu Persentase Golput Jumlah Golput (Juta)
2004 Pilpres 23,30% 20,2
2009 Pilpres 27,45% 23,5
2014 Pilpres 30,42% 25,7
2019 Pilpres 19,24% 34,75
2024 Pilpres 20,18% ~40

 

Jumlah Golongan Putih ( golput) / ( yang tidak mencoblos) dari tahun ketahun angkanya terus meningkat tak lain alasan terbesarnya golput di lakukan karena ketidak puasan para masyarakat dengan pilihan yang di berikan dan menganngap golput adalah jalan yang terbaik.

Tentu golput juga salah satu kegagalan yang di lakukan oleh KPU mereka tidak mampu menarik simpati pemilih untuk melakukan pemilihan, tidak hanya itu regulasi yang terkadang menyulitkan pemilih untuk memilih sering menjadi alasan para pemilih memilih melakukan golput (KTP, DPT, dan mekanisme lainnya).

Dari beragam pemaparan dan data yang di tampilkan membuktikan bahwa KPU tidak berhasil menciptakan pemilihan yang baik seperti yang di harapkan dan di impikan oleh rakyat, dengan tidak terciptanya sistem pemilihan yang baik menjadikan proses demokrasi yang di jalankan di indonesia juga tidak berjalan dengan baik, selama praktik kecurangan yang tinggi dan angka golpit yang tinggi indonesia sulit menjadi negara demokrasi yang mapan.

 

Penulis : Boy saputra, mahasiswa ilmu Politik,universitas jambi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *