Korupsi di Indonesia bukan sekedar tindak pidana ia merupakan penyakit kronis yang menggerogoti akar keadilan, merusak moral aparatur negara dan menciptakan ketimpangan sosial. Meskipun sudah banyak upaya hukum yang dilakukan, termasuk pembentukan lembaga seperti komisi pemberantasan korupsi (KPK), serta pengesahan berbagai regulasi anti korupsi, namun ada satu pertanyaan yang terus mengantung dipikiran yakni “ Mengapa korupsi tetap merajalela?”
Coba bayangkan seorang pejabat negara tertangkap dalam kasus korupsi bernilai ratusan miliar. Ia divonis tujuh tahun penjara. Tiga tahun kemudian ia sudah mendapatkan pembebasan bersyarat, berjalan santai di pusat perbelanjaan mewah, mengenakan pakaian dan jam tangan seharga rumah mewah, dan berfoto dengan mobil sport keluaran terbaru. Di mana rasa keadilan itu berada?
Inilah realitas yang kerap mengoyak nurani masyarakat. Hukuman badan memang dijatuhkan, tapi kehidupan yang nyaman hasil dari uang rakyat tetap bisa di nikmati. Rasa keadilan pun seolah di korbankan demi formalitas hukum dan hal inilah yang membuat koruptor semakin merajalela karena hukuman yang diberikan tidak sebanding dengan perbuatan yang mereka lakukan.
Di tengah keresahan inilah muncul gagasan bahwasannya kita tidak hanya perlu menghukum pelaku korupsi, tetapi juga merampas keuntugan dari kejahatannya. Maka di sinilah lahir dorongan kuat untuk mengesahkan undang-undang perampasan aset. Undang-undang ini bukan hanya sebuah aturan biasa. Ia adalah manifestasi dari perubahan cara pandang terhadap korupsi. Jika selama ini kita lebih fokus pada penghukuman pelaku bukan pemulihan kerugian padahal, apa artinya seorang koruptor di penjara sepuluh tahun jika ia masi bisa menikmati hasil korupsinya setelah bebas? Lebih parahnya lagi, aset-aset hasil korupsinya sering kali disamarkan, di ahlikan atau di simpan di luar negeri dengan struktur kepemilikan yang kompleks, sehingga sulit di jangkau oleh aparat penegak hukum. Oleh sebab itu kini saatnya kita beralih pada hasil kejahatan itu sendiri. Karena pada akhirnya, korupsi adalah kejahatan yang termotivasi oleh uang. Dan cara yang paling efektif untuk membuat koruptor jera adalah dengan menghancurkan motivasinya yakni ambil semua yang telah ia rampas.
Salah satu aspek revolusioner dari undang-undang ini adalah pendekatan non-conviction based aset forfeiture, yaitu perampasan aset tanpa harus menunggu putusan pidana. Ini berarti, negara dapat menyita diduga berasal dari tindak pidana, meski pelaku belum atau bahkan tidak bisa dipidana, misalnya karena meninggal dunia atau buron. Konsep ini bukan konsep baru dalam hukum internasional. Banyak negara, mulai dari Inggris, Australia , Swiss telah lebih dahuli mengadopsi mekanisme ini untuk mengejar hasil kejahatan yang tersembunyi di balik nama-nama pihak ketiga, perusahaan cangkang, atau di simpan di luar yurisdiksi.
Namun tentu, efektivitas undang-undang ini tidak di tentukan oleh teksnya saja, melainkan sejauh mana negara mampu menegakkannya secara adil dan transparan. Di atas kertas undang-undang ini menawarkan terobosan. Tapi Kita semua tahu bahwa salah satu masalah di Indonesia adalah lemahnya aparat yang kerap tersandera oleh konflik kepentingan, tekanan politik, atau bahkan ikut bermain dalam kejahatan itu sendiri. Memberikan kewenangan sebesar ini tanpa pengawasan ketat hanya akan membuka peluang baru untuk penyalahgunaan kekuasaan.
Selain itu, undang-undang ini berpotensi berbenturan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia jika tak dirancang secara hati-hati. Menyita aset warga negara tanpa proses pidana bisa membuka celah kriminalisasi atau tindakan sewenang-wenang. Oleh karena itu, sangat penting untuk merancang mekanisme keberatan yang adil, transparan, dan mudah diakses bagi pihak yang merasa dirugikan. Setiap tindakan penyitaan harus bisa diuji melalui pengadilan yang independen dan bebas dari tekanan politik.
Dan tak kalah penting adalah pada aspek pengelolaan aset hasil rampasan. Banyak aset korupsi yang disita akhirnya terbengkalai, rusak, atau bahkan raib dalam proses birokrasi. Padahal aset ini harusnya di kelola sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat. Bayangkan jika uang hasil rampasan bisa diahlikan untuk membangun sekolah, memperbaiki fasilitas kesehatan, atau membiayai riset dan inovasi nasional. Maka dari itu, pengelolaan harus dilakukan oleh lembaga yang sudah profesional, terbuka terhadap audit publik, dan diawasi oleh masyarakat.
Efektivitas UU ini juga sangat bergantung pada ekosistem pendukungnya. Kita butuh sistem keuangan yang terbuka, akses data lintas lembaga yang efisien, dan kerja sama internasional yang kuat dalam pelacakan aset lintas negara. Di era digital ini, koruptor bisa memindahkan kekayaannya dalam hitungan detik, sementara aparat penegak hukum sering kali masih sibuk menyusun surat permintaan data berbulan-bulan lamanya.
Namun meski demikian, kita tidak boleh pesimistis. Kehadiran UU Perampasan Aset harus dipandang sebagai momen krusial dalam evolusi hukum pidana kita. Undang-undang ini bukanlah solusi instan, namun ia adalah fondasi penting dalam upaya menggeser paradigma penegakan hukum dari sekadar menghukum pelaku menjadi mengembalikan kerugian negara. Dari hanya mengejar individu menjadi mengejar hasil kejahatan. Dari hukuman simbolik menjadi keadilan substantif.
Korupsi adalah kejahatan yang menghancurkan harapan. Ia merampas bukan hanya uang negara, tetapi masa depan anak-anak bangsa. Maka perampasan aset bukan semata bentuk balas dendam negara kepada pelaku kejahatan, melainkan bentuk restorasi, pengembalian hak rakyat yang telah dirampas secara keji. Bila undang-undang ini diterapkan dengan benar dan dengan pengawasan publik yang ketat dan semangat keadilan yang murni maka kita sedang menulis babak baru dalam sejarah hukum Indonesia. Babak di mana korupsi tak lagi jadi jalan pintas menuju kekayaan, melainkan tiket cepat menuju kehilangan segalanya.
Kesimpulan dari penulis :
Perampasan aset bukan lagi sekadar wacana alternatif dalam pemberantasan korupsi, tetapi kebutuhan mendesak. Sudah saatnya kita berhenti memanjakan pelaku korupsi dengan sistem hukum yang hanya menyentuh tubuhnya, tapi membiarkan hasil kejahatannya tetap aman. Undang-Undang Perampasan Aset membawa harapan baru. Ia menawarkan pendekatan yang lebih tajam menyasar langsung pada keuntungan ilegal dan mengembalikannya kepada negara. Namun, harapan ini hanya akan terwujud bila disertai komitmen kuat dari semua pihak penegak hukum yang bersih, sistem yang transparan, serta pengawasan masyarakat yang aktif. Kita tak bisa lagi menunggu. Setiap hari keterlambatan berarti semakin banyak kekayaan negara yang menghilang tanpa jejak. Perampasan aset bukan balas dendam negara kepada koruptor, melainkan bentuk pemulihan hak rakyat yang selama ini dirampas. Inilah bentuk keadilan sejati yang harus kita perjuangkan bersama.
Ditulis oleh :
Julu Yanti Stepani Hutabarat
Penulis Merupakan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Katolik Santo Thomas Medan