DISTRIKBERITA.COM| JAMBI, Pulau Rempang merupakan sebuah pulau yang berada di kawasan Provinsi Kepulauan Riau, dihuni oleh masyarakat adat asli Pulau Rempang yang terdiri dari Suku Melayu, Suku Orang Laut, Suku Orang Darat sejak tahun 1843 bermukim.
Pada 7 September 2023 lalu, terjadi bentrokan antara warga Pulau Rempang dengan aparat gabungan. Hal ini terjadi karena masyarakat menolak Program Strategis Nasional kawasan Rempang Eco City yang tertuang dalam Peraturan Menteri Koordinator Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2023 yang bertujuan untuk mencapai nilai investasi sebesar Rp 381 triliun pada tahun 2080. Akibat kejadian tersebut, 11 siswa dilarikan ke rumah sakit serta seorang balita yang tidak bisa bernafas akibat tembakan gas air mata tersebut. Tindakan yang dilakukan aparat gabungan kemudian adalah mengamankan pelaku penyerangan yang kurang lebih berjumlah 43 orang.
Masyarakat yang berada di Kampung Tua tidak menolak pembangunan dari Eco City. Mereka hanya meminta tempat mereka jangan diganggu.
Mereka menolak untuk meninggalkan kampung halamannya dengan mengatakan bahwa ini adalah Tanah Ulayat yang sudah menjadi tanggung jawab mereka untuk menjaganya. Kelompok nelayan di Pulau Rempang ini juga sangat takut kehilangan sumber utama pencariannya.
Tak dipungkiri memang keberadaan kampung Tua di Rempang sudah ada sejak sebelum pemerintahan Batam berdiri, apalagi BP Batam baru ada kemarin. Padahal, nenek moyang mereka sudah ada di Pulau Rempang sebelum kemerdekaan pada tahun 1945. Sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia lahir.
Proyek Eco City sendiri dibuat untuk kesejahteraan rakyat. Dengan menciptakan banyaknya lapangan pekerjaan, pendapatan masyarakat juga akan meningkat.
Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Azmi Syahputra, mengemukakan pada fenomena Rempang investor harus berporos pada keseimbangan ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup. Selain itu, mereka juga tidak boleh melupakan soal perlindungan masyarakat hukum adat.
“Oleh karenanya pemerintah harus segera turun dan fokus mengatasi kisruh pulau Rempang untuk menemukan sebab akibatnya, dimana kini telah terjadi unjuk rasa perlawanan masyarakat kepada petugas pada senin lalu(11/9),” tegas Azmi kepada Media Indonesia, Rabu (13/9/2023)
Menurut Presiden Jokowi, penolakan dari masyarakat dikarenakan komunikasi yang kurang bagus sehingga ia mengutus Menteri Investasi Bahlil Lahadalia menjelaskan kepada masyarakat bahwa hak mereka akan tetap diberikan.
Bahlil mengatakan, uang ganti rugi yang disesuaikan itu dihitung dari hak-hak yang sebelumnya sudah ditetapkan dan akan diberikan kepada warga. Itu diantaranya tanah seluas 500 meter persegi sudah dengan alas hak, rumah tipe 45 seharga Rp 120 juta, uang tunggu transisi hingga rumah jadi sebesar Rp 1,2 juta per jiwa, dan uang sewa rumah Rp 1,2 juta
“Yang kali ini harus saya sampaikan adalah, bagi warga yang memang alas hak nya sudah ada dan bangunannya itu bagus, yang bukan tipe 45. Contoh, bangunannya bagus tapi ternyata rumahnya itu dihargai Rp 350 juta, itu akan dilihat oleh KJPP (Kantor Jasa Penilai Publik), dan selisihnya itu akan diselesaikan oleh BP Batam,”
“Termasuk dengan keramba, tanaman, sampan, semua ini akan dihargai secara proporsional sesuai dengan mekanisme dan dasar perhitungannya,”ujar Bahlil Minggu, 17 September 2023.
Bagaimana kasus ini jika dilihat menurut positivisme hukum?
Aliran positivisme hukum mempunyai sifat yang rasional. Rasional tentunya ditandai dengan sifat peraturan yang prosedural. Prosedural hukum menjadi dasar yang penting untuk menegakkan keadilan, menjaga HAM.
Aliran ini memandang antara baik atau buruk serta adil atau curang dari suatu hukum. Hal ini tergantung apakah hukum tersebut memberi kebahagiaan atau tidak yang nantinya akan dirasakan oleh manusia. Sesuai dengan mottonya yaitu ‘the greatest happiness for the greatest number of people’.
Aliran ini bisa dibilang termasuk kategori Aliran Positivisme Hukum. Karena aliran ini mempunyai tujuan untuk menciptakan ketertiban di lingkungan masyarakat.
Jika dikaitkan dengan hak asasi manusia Kasus rempang ini adalah salah satu contoh ketidak setaraan dalam prinsip hak asasi manusia. Ketika seseorang, terutama anak-anak, terlibat dalam pekerjaan paksa atau eksploitasi di perkebunan rempah-rempah, hak-hak dasarnya dapat dilanggar.
Saat kasus seperti ini terungkap maka, perlu tindakan untuk melindungi hak asasi manusia individu yang terlibat dan mencegah praktik seperti itu. Ini melibatkan upaya untuk memberantas pekerjaan paksa, mendukung pendidikan yang inklusif, dan mengatasi ketidaksetaraan dalam masyarakat.
Oleh sebab itu, sifat prosedural itu menjadi lebih penting dari pada keadilan yang substansiil dari hukum itu. Yang sering sekali muncul yaitu keadilan formal, bukanya keadilan substansial yang mewakili dan memenuhi hati nurani.
Positivisme Hukum sangat mengagungkan hukum yang tertulis dan menganggap bahwa tidak ada norma hukum di luar hukum positif. Bagi aliran ini, semua persoalan dalam masyarakat harus diatur dalam hukum tertulis.
Maka dari itu kasus Pulau Rempang jika dilihat berdasarkan UUD 1945 Pasal 18 (B) ayat (2) dan ayat (3), yang menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya. Selain itu, Pasal 3 UUPA juga menyebutkan tentang penghormatan dan perlindungan hak ulayat masyarakat hukum adat.
Persoalan dari masyarakat suku asli Rempang mereka tidak memliki surat legalitas lahan (beberapa hanya memiliki legalitas bangunan) dikarenakan dari dulu semua ada dibawah otoritas Batam. Sehingga mereka tidak dapat membuktikan kepemilikan penuh tanah tersebut juga yang mana sebagai syarat untuk mendapat hak yang telah dijanjikan oleh pemerintahan.
Selanjutnya mengenai kepastian hukum dalam pengelolan tanah di Batam bergantung pada undang-undang dan regulasi yang berlaku. Pemerintah telah mengatur pengelolaan tanah melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UU Agraria).
Selain itu Pulau Batam memiliki regulasi khusus yang mengatur pertahanan sesuai dengan status Kawasan Batam sebagai Kawasan ekonomi khusus. Kepastian Hukum dalam hak pengelolaan tanah di Pulau Rempang masih menjadi perdebatan antara masyarakat adat dan BP Batam
Meskipun BP Batam memiliki Hak Pengelolaan Lahan (HPL) di Pulau Rempang, klaim tersebut tidak memiliki status yang setara dengan hak atas tanah. Sertifikat Hak Atas Tanah menjadi alat pembuktian yang memberikan jaminan kepastian hukum tentang orang yang memiliki hak atas tanah.
Dari informasi didapat bahwa terdapat perbedaan pendapat antara masyarakat adat dan pemerintah terkait hak kepemilikan tanah di Pulau Rempang. Penelusuran riwayat tanah melalui sejarah penting untuk memahami hak kepemilikan tanah itu sendiri. Sejarah dapat menjadi dasar untuk menentukan keabsahan klaim hak kepemilikan tanah oleh masyarakat dan BP Batam.
Berdasarkan kasus ini diketaui bahwa formal justice yang ditegakan melalui hukum positif (undang-undang) di Indonesia yang dikatakan menjunjung tinggi rule of law, ternyata belum mampu mewujudkan keadilan yang substansial.
Upaya untuk mewujudkan substansial justice bisa gagal karena terbentur prosedur yang harus dipenuhi dalam memenuhi legalitas sistem hukum modern. Dengan melalui undang undang, pihak-pihak tertentu dapat merusak hati nurani atau akal sehat yang bersifat genuine dibalik pernyataan ”semua harus sesuai dengan hukum”, namun ketika prosedur hakim tersebut dijalankan, ternyata pemenuhan rasa keadilan bisa terhalang oleh prosedur ataupun formalitas yang justru diciptakan oleh hukum modern itu sendiri.
Dampak sosial yang mana telah terjadinya akibat bentrokan antara aparat gabungan dan warga setempat salah satunya seperti kehilangan mata pencarian dan kerugian finansial serta berdampak bagi lingkungan yang memicu kerusakan lingkungan dan hilangnya habitat alami.
Dengan demikian penyelesaian yang adil dan berkelanjutan bagi masyarakat Pulau Rempang dan pihak-pihak terkait diharapkan tercapai. Dengan cara menghormati hak dari masyarakat adat, namun tetap memperhatikan kepentingan pembangunan yang dilakukan oleh BP Batam dan tidak memunculkan kericuhan kembali, serta kritik terhadap dominasi paradigma positivisme hukum bukan bermaksud untuk dipersalahkan, akan tetapi bermaksud agar berjalannya sistem hukum modern dapat semakin memberikan manfaat dan ketentraman.
Penulis : Restu Nadila Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Jambi