DISTRIKBERITA.COM | JAMBI, Konflik yang terjadi di Pulau Rempang menjadi perbincangan hangat masyarakat Indonesia lantaran terjadinya bentrok antar aparat dan warga setempat. Penyebab terjadinya bentrokan karena adanya rencana penggusuran pemukiman warga untuk dijadikan Rempang Eco City. Para warga setempat meyakini bahwa tanah di Pulau Rempang tersebut merupakan tanah ulayat yang mesti dipertahankan.
Ulas balik sejarah, Pulau ini merupakan milik Pemerintah Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau. Pada tahun 2014 pulau ini rencananya akan dimasuki oleh investor setelah izinnya dikeluarkan pada tahun 2001. Awalnya, lahan di Pulau Rempang akan dikelola oleh PT MEG, yang merupakan bagian dari Artha Graha Grup milik Tommy Winata. PT MEG diberi konsesi selama 30 tahun untuk mengelola kawasan tersebut, dan akan diperpanjang hingga 80 tahun.
Pada tahun 2023, perusahaan asal China, Xinyi, berencana untuk berinvestasi di Pulau Rempang dengan nilai mencapai Rp 172 triliun. Rencananya kawasan tersebut akan dibangun menjadi Rempang Eco-City, yang merupakan kawasan pengembangan industri hijau, jasa/komersial, agro-pariwisata, residensial, serta energi baru dan terbarukan (EBT). Namun, ketika investor ingin memasuki kawasan tersebut, ternyata lahannya telah ditempati oleh warga sekitar.
Dalam kaitannya dengan filsafat hukum, bahwa filsafat hukum berupaya memecahkan persoalan, menciptakan hukum yang lebih sempurna, serta membuktikan bahwa hukum mampu memberikan penyelesaian persoalan-persoalan yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat dengan menggunakan sistem hukum yang berlaku suatu masa, di suatu tempat sebagai Hukum Positif.
Secara yuridis konstitusional, pengakuan dan penghormatan negara terhadap masyarakat hukum adat telah diatur dengan tegas dalam Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945. Pasal tersebut menegaskan bahwa “negara mengakui dan menghormati masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang dalam kenyataan masih ada, sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia dan diatur dalam undang-undang”.
Dari konflik ini, pemanfaatan tanah ulayat untuk kepentingan umum dapat dilakukan berdasarkan kesepakatan anggota masyarakat adat yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pelaksanaan pemanfaatan tanah ulayat ini tentunya harus memperoleh izin lokasi guna kesesuaian penggunaan tanah dengan rencana tata usaha wilayah dari pemerintah setempat sesuai kewenangannya. Dijelaskan dalam penjelasan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012, ganti kerugian atas tanah hak ulayat diberikan dalam bentuk tanah pengganti, permukiman kembali, atau bentuk lain yang disepakati oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
Bagi masyarakat yang terkena dampak tidak perlu khawatir, bahwa pemerintah akan mengganti rugi kepada warga yang terkena terdampak atas pembangunan tersebut. Dimana per kepala keluarga akan diberikan 500 m² dalam bentuk sertifikat hak milik, diberikan rumah tipe 45 senilai Rp 120 juta. Namun, jika rumahnya melebihi dari Rp 120 juta, kelebihannya tetap akan dibayarkan oleh pemerintah dengan mekanisme penilaian oleh Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP). Selain itu, juga diberikan fasilitas kepada warga selama masa tunggu pembangunan rumah yang diperkirakan kurang lebih 6 sampai 7 bulan, dimana akan mendapatkan uang sewa rumah dan biaya hidup selama rumah hunian tetap sebelum selesai dibangun.
Penulis : Liza Afriani Rosydiana, Fakultas Hukum Mahasiswa Universitas Jambi