Konflik yang terjadi di Indonesia mengalami peningkatan dari tahun 2018 sampai tahun 2024 terutama di perdesaan.Konflik dapat berdampak pada pembangunan infrastruktur di desa. Konflik pada tingkat desa terhadap pembangunan infrastruktur di desa, yaitu sekolah, puskesmas,jalan dan Pasar. Seperti yang terjadi di salah satu desa yang ada di Sidoarjo yaitu Desa Kedung Bocok, Kecamatan Tarik, Sidoarjo. Desa ini terdapat konflik tanah yang bertujuan untuk pembangunan pasar. Pembangunan fasilitas umum seperti pasar desa pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, namun sering kali prosesnya tidak berjalan mulus. Konflik antara masyarakat dan aparat desa di Desa Kedung Bocok, Kecamatan Tarik, Sidoarjo, dalam konteks pembangunan pasar adalah salah satu contoh nyata dari gesekan kepentingan yang muncul akibat kurangnya komunikasi, transparansi, dan pengelolaan konflik yang baik.
Konflik pembangunan Pasar Kedung Bocok Asri muncul dikarenakan keputusan sepihak dari aparat desa yang tidak melibatkan warga dalam proses sosialisasi. Warga ini tidak diberitahu tentang rapat yang diadakan dan merasa bingung setelah melihat tanah sawah mereka diberi tanda tanpa penjelasan.
Selain itu, rapat yang diadakan hanya membahas dampak positif pasar tanpa memberikan informasi jelas tentang lahan yang akan terdampak, sehingga warga tidak tahu jika sawah mereka akan terkena proyek tersebut. Proses administrasi, seperti jual beli dan ganti rugi, juga belum diselesaikan dengan baik, dan pihak yang terdampak tidak diikutkan dalam rapat atau pertemuan. Hal ini memicu ketidakpuasan dan aksi protes warga, apalagi pihak terkait seperti lurah dan perangkat desa tidak hadir saat proyek berjalan dan tidak menemui pemilik lahan.
Para aktor yang terlibat dalam konflik ini ada Lurah, Perangkat Desa, BPD,Warga yang Terdampak mengenai konflik lahan tersebut dan Warga yang Melakukan Aksi Protes. Dari aktor tersebut membuat kericuhan yang besar pada saat pembangunan pasar ini.Mereka Yang pemegang mandat dari masyarakat, aparat desa seharusnya menjadi mediator yang efektif, memastikan bahwa pembangunan pasar tidak hanya sesuai dengan rencana tetapi juga diterima oleh masyarakat. Ketidaktepatan dalam mengelola aspirasi warga atau kurangnya kemampuan menyelesaikan konflik dapat memicu protes dan merusak hubungan antara aparat desa dan masyarakat.
Warga banyak Tidak Setuju karena mereka Mengetahui Pembangunan desa Menyentuh Asset Desa dan Warga tidak setuju tentang pembangunan pasar berawal dari ketika mengetahui pembangunan meyentuh lahan Aset Desa. Lahan tersebut karena sawah yang akan dibangun merupakan tanah “bengkok” atau tanah ganjaran untuk lurah. Warga merasa bahwa tanah tersebut masih sangat aktif dan subur. Tanah yang masih digunakan sebagai lahan pertanian Desa namun dengan adanya pembangunan ini lahan pertanian Desa berkurang, Pendapatan Desa berkurang, dan banyak kerugian yang diterima lainnya.
Dan Para aktor yang terlibat dalam konflik ini ada Lurah, Perangkat Desa, BPD,Warga yang Terdampak mengenai konflik lahan tersebut dan Warga yang Melakukan Aksi Protes. Dari aktor tersebut membuat kericuhan yang besar pada saat pembangunan pasar ini.
Untuk menyelesaikan konflik pembangunan Pasar Kedung Bocok Asri, diperlukan musyawarah terbuka yang melibatkan semua pihak, termasuk perangkat desa, warga yang terkena dampak, dan tokoh masyarakat, dengan mencapai kesepakatan bersama. Pemerintah desa harus meninjau kembali rencana pembangunan dengan memperhatikan dampak sosial dan lingkungan, serta menjaga transparansi dalam pengelolaan aset desa. Pemilik lahan terdampak perlu mendapatkan kompensasi yang layak, diikuti dengan pemberdayaan warga agar dapat terlibat dalam kegiatan ekonomi pasar. Selain itu, pengawasan oleh tim independen diperlukan untuk memastikan pembangunan berlangsung sesuai kesepakatan tanpa adanya penyalahgunaan kewenangan.
Penulis : Trias, Mahasiswa Ilmu Politik, Universitas Jambi