Laut China Selatan (LCS) telah lama menjadi sumber ketegangan geopolitik, termasuk bagi Indonesia. Meskipun Indonesia tidak mengklaim wilayah di LCS, kehadiran klaim “Nine-Dash Line” yang diajukan oleh China sering kali berbenturan dengan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di sekitar Natuna Utara. Hal ini memicu pertanyaan penting: mungkinkah Indonesia dan China mencapai kesepakatan untuk mengurangi konflik di wilayah ini?
Kepentingan Strategis di Laut China Selatan
Bagi Indonesia, LCS bukan hanya tentang kedaulatan, tetapi juga menyangkut keberlanjutan ekonomi maritim. Kawasan Natuna Utara kaya akan sumber daya alam, seperti ikan dan cadangan gas alam, yang menjadi komponen penting dalam pembangunan ekonomi nasional. Sementara itu, bagi China, LCS adalah jalur perdagangan strategis sekaligus simbol kekuatan geopolitiknya di Asia Pasifik.
Namun, kepentingan yang berbeda ini sering kali menjadi tantangan dalam hubungan bilateral. Insiden antara kapal penjaga pantai China dan kapal nelayan Indonesia di Natuna menunjukkan betapa kompleksnya dinamika konflik ini.
Upaya Diplomasi: Ada Harapan?
Indonesia telah mengedepankan pendekatan diplomasi untuk meredam ketegangan, baik melalui mekanisme bilateral maupun multilateral. Dalam berbagai pertemuan internasional, seperti ASEAN dan forum G20, Indonesia terus mendorong pentingnya penegakan hukum internasional berdasarkan Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS) 1982.
China, meskipun sering mengabaikan keputusan internasional seperti yang dikeluarkan oleh Pengadilan Arbitrase Permanen (PCA) pada 2016, belakangan ini menunjukkan sinyal positif untuk berdialog. Joint Statement yang disampaikan Indonesia dan China baru-baru ini menyiratkan adanya peluang kerja sama dalam menjaga stabilitas dan perdamaian di kawasan.
Namun, pertanyaannya tetap: sejauh mana China bersedia mengurangi klaimnya, dan sejauh mana Indonesia dapat mempertahankan kedaulatannya tanpa mengorbankan hubungan ekonomi dengan China?
Tantangan Menuju Kesepakatan
Meskipun dialog terus berlangsung, mencapai kesepakatan bukanlah perkara mudah. Tiga tantangan utama yang perlu diatasi adalah:
Perbedaan interpretasi hukum internasional: Indonesia berpegang pada UNCLOS 1982, sementara China memiliki interpretasi sendiri terhadap “Nine-Dash Line.”
Ketergantungan ekonomi Indonesia terhadap China: Sebagai mitra dagang terbesar, China memiliki pengaruh ekonomi yang signifikan terhadap Indonesia, yang dapat memengaruhi negosiasi.
Tekanan geopolitik global: Keterlibatan negara-negara besar seperti Amerika Serikat menambah kompleksitas situasi, mengingat rivalitasnya dengan China di kawasan Indo-Pasifik.
Harapan Masa Depan
Meskipun tantangan tersebut signifikan, peluang kesepakatan tetap ada. Indonesia dapat memanfaatkan posisinya sebagai pemimpin ASEAN untuk memperkuat Code of Conduct (COC) di LCS yang lebih mengikat secara hukum. Selain itu, kerja sama bilateral dalam bidang ekonomi dan lingkungan dapat menjadi pintu masuk untuk membangun kepercayaan.
Pada akhirnya, kesepakatan antara Indonesia dan China di LCS membutuhkan kesabaran, keteguhan, dan inovasi diplomasi. Sebuah konsensus yang menghormati kedaulatan sekaligus menjaga stabilitas kawasan adalah solusi terbaik bagi kedua negara.
Penulis: Hadi sebianto, mahasiswa ilmu Hukum Universitas Jambi