Kebijakan efisiensi anggaran yang diterapkan pemerintah menimbulkan polemik di berbagai sektor, termasuk pendidikan tinggi. Salah satu kebijakan yang menjadi perhatian publik adalah potensi pengurangan anggaran untuk Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP-K). Langkah ini berisiko tinggi terhadap keberlangsungan pendidikan bagi ratusan ribu mahasiswa kurang mampu yang bergantung pada program beasiswa tersebut.
Pemerintah menargetkan efisiensi anggaran melalui pemangkasan dana berbagai program, termasuk KIP-K. Berdasarkan data yang beredar, sekitar 663.821 hingga 844.174 mahasiswa penerima KIP-K terancam tidak mendapatkan pendanaan pada tahun 2025. Lebih parahnya, tidak akan ada penerimaan mahasiswa baru penerima KIP-K di tahun tersebut. Kondisi ini tentu mengancam keberlanjutan pendidikan ratusan ribu mahasiswa yang berasal dari keluarga prasejahtera. Jika efisiensi ini dilakukan tanpa solusi konkret, maka banyak mahasiswa berpotensi putus kuliah, yang tidak hanya berdampak pada masa depan individu mereka, tetapi juga terhadap pembangunan sumber daya manusia nasional.
Pemerintah selama ini menggaungkan pentingnya akses pendidikan yang inklusif dan merata sebagai bagian dari upaya menciptakan SDM unggul. Namun, kebijakan efisiensi yang menyasar program beasiswa justru bertolak belakang dengan visi tersebut. Bagaimana mungkin kita berharap memiliki generasi emas jika akses pendidikan justru dipersempit?
Selain itu, kebijakan ini juga bertentangan dengan amanat konstitusi. Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Dalam ayat (4), negara diwajibkan untuk memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD. Maka, pemangkasan anggaran beasiswa bisa dikatakan sebagai bentuk kelalaian negara dalam memenuhi kewajiban konstitusionalnya.
Efek dari kebijakan ini tidak hanya terbatas pada sektor pendidikan, tetapi juga dapat memicu ketimpangan sosial dan ekonomi yang lebih luas. Mahasiswa yang kehilangan beasiswa akan menghadapi risiko tidak dapat menyelesaikan pendidikan mereka, yang pada akhirnya dapat memperburuk siklus kemiskinan. Selain itu, pendidikan tinggi merupakan salah satu pilar penting dalam meningkatkan daya saing bangsa. Jika akses terhadap pendidikan tinggi semakin sulit, maka Indonesia berisiko tertinggal dalam kompetisi global, terutama dalam menghadapi tantangan era digital dan industri 4.0.
Pemerintah perlu mempertimbangkan ulang kebijakan efisiensi anggaran yang berdampak langsung pada sektor pendidikan. Jika efisiensi harus dilakukan, seharusnya diarahkan pada sektor-sektor yang tidak bersinggungan langsung dengan hak fundamental warga negara.
Efisiensi anggaran bukanlah kebijakan yang salah, tetapi harus diterapkan dengan cermat dan berkeadilan. Pendidikan adalah investasi jangka panjang bagi kemajuan bangsa, dan mengorbankan beasiswa KIP-K demi efisiensi adalah keputusan yang keliru. Sebagai negara yang menjunjung tinggi keadilan sosial, sudah seharusnya kebijakan pemerintah berpihak kepada rakyat, khususnya mereka yang membutuhkan. Jika akses pendidikan semakin sulit bagi kelompok kurang mampu, maka janji pemerataan pendidikan hanya akan menjadi utopia belaka.
Oleh karena itu, pemerintah perlu segera mengevaluasi kebijakan ini dan memastikan bahwa efisiensi anggaran tidak dilakukan dengan mengorbankan hak fundamental mahasiswa Indonesia.
Oleh:
Adjie Pramana Sukma
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jambi