Jakarta – Jaksa Agung RI ST Burhanuddin menyebut pihaknya tidak bisa mengembalikan waktu yang sudah lewat, sehingga hanya bisa berbuat kebaikan setiap harinya.
“Waktu itu ibarat es, dipakai atau tidak akan habis pada waktunya, akan mencair dan menghilang pada waktunya. Ketika saya diberikan amanah menjadi Jaksa Agung, sedikitpun tidak menyangka kalau ini merupakan perjalanan sang waktu, yang saya pikirkan dan akan saya laksanakan sebagai seorang pimpinan adalah melakukan pembenahan internal sebagai penegak hukum, membuat aturan-aturan yang fleksibel bilamana perlu dibuat progresif dalam rangka penegeakan hukum modern dan humanis, kemudian menggeliatkan bidang-bidang penindakan sehingga manfaatnya dirasakan oleh masyarakat,” katanya dalam keterangan yang diterima, Minggu (7/1).
Ia pun mengaku awalnya tidak menyangka, tapi itulah pilihan yang harus dilakukan. Ia mulai menyadari bahwa bulan demi bulan semua progres mengalami banyak rintangan internal dan tekanan eksternal.
“Sehingga harus diperkuat dengan sistem pengawasan yang mobile, cepat, tepat dan akurat dalam mengambil suatu keputusan dan tindakan, bahkan harus diberikan contoh kepada seluruh Insan Adhyaksa sehingga sering saya disebut Raja Tega, karena tidak mungkin kita membersihkan halaman dengan sapu yang kotor,” ujarnya.
Ia menyebut dalam membangun kinerja di bidang penindakan, harus menyasar kasus-kasus yang berhubungan dengan kepentingan publik, menyentuh kebutuhan pokok masyarakat, dan bermanfaat bagi masyarakat, serta mengutamakan perkara-perkara “Big Fish”, sehingga masyarakat memahami bahwa korupsi itu tidak hanya merampas ekonomi masyarakat, tetapi juga melemahkan pertumbuhan ekonomi masyarakat.
“Dalam perjalanannya, ternyata penindakan harus diimbangi dengan perbaikan tata kelola, perbaikan manajemen, termasuk menggandeng proyek-proyek strategis nasional agar bisa berjalan dan dinikmati hasilnya oleh masyarakat. Oleh karena itu, harus dilakukan pendampingan sekaligus pengamanan walaupun itu tugas yang berat,” tuturnya.
Dengan jargon “Penegakan Hukum Humanis dan Modern”, suatu renungan yang mendalam dari kami bahwa hukum yang baik adalah hukum yang mengandung nilai-nilai kemanusiaan, karena hukum yang tertinggi adalah kemanusiaan itu sendiri.
“Hukum yang modern itu adalah hukum yang mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman dan menjamin kebutuhan hukum masyarakat. Digitalisasi di bidang hukum juga menjadi keniscayaan untuk mempermudah, mempercepat dan mengefektifkan akses pelayanan informasi hukum kepada masyarakat dan media guna mengedepankan transparansi,” cetus dia.
Program-program Penegakan Hukum Humanis juga harus diluncurkan dalam rangka penyadaran hukum dan melek hukum masyarakat, sehingga ketika kesadaran hukum masyarakat menjadi semakin baik maka penegakan hukum yang sifatnya represif tidak diperlukan lagi karena telah tercipta keharmonisan dan kedamaian di dalam masyarakat itu sendiri, sehingga tujuan hukum sudah dirasakan manfaat, kepastian dan keadilannya di masyarakat.
Menutup perbincangan dengan Media Puspenkum, Jaksa Agung ST Burhanuddin menyampaikan kata kuncinya agar Kejaksaan ke depan eksistensinya dapat dipercaya oleh masyarakat yakni “Mereformasi diri dan Bertransformasi” yaitu mereformasi untuk mengubah mindset, perilaku yang nantinya menjadi budaya kerja Kejaksaan dan Bertransformasi artinya mampu beradaptasi dan agile dengan kebutuhan hukum masyarakat modern di era kekinian dan di masa yang akan datang.