BREAKING NEWSHUKUM DAN KRIMINALNASIONALOPINIPENDIDIKAN

Huru-hara atau Teriakan Keadilan? Membaca Pesan Demonstrasi 2025

×

Huru-hara atau Teriakan Keadilan? Membaca Pesan Demonstrasi 2025

Sebarkan artikel ini

Jalanan Jakarta dan sejumlah kota lain kembali dipenuhi lautan massa. Spanduk, teriakan, dan asap gas air mata jadi pemandangan yang beberapa minggu terakhir tak asing lagi. Demonstrasi 2025 mencatat sejarah baru: rakyat kembali turun ke jalan, bukan hanya untuk memprotes, tapi untuk meluapkan rasa kecewa yang sudah lama menumpuk.

Apa yang Memicu Amarah?

Banyak yang bilang titik awalnya adalah tunjangan rumah anggota DPR yang fantastis: Rp50 juta per bulan. Angka ini bikin banyak orang geleng-geleng kepala. Bagaimana tidak, saat harga kebutuhan pokok makin mencekik, rakyat diminta berhemat, sementara wakil rakyat malah dimanjakan.

Tak berhenti di situ, ada juga kebijakan kenaikan pajak di daerah, seperti di Pati, yang membuat warga menjerit. Situasi semakin panas setelah tragedi menimpa seorang pengemudi ojek online, Affan Kurniawan, yang meninggal terlindas kendaraan taktis saat demo. Nama Affan kini jadi simbol ketidakadilan: rakyat kecil lagi-lagi jadi korban.

Di tengah marah yang memuncak, demonstrasi pun berubah ricuh. Penjarahan, pembakaran, dan bentrokan dengan aparat tak terhindarkan. Pertanyaannya, apakah semua ini hanya kerusuhan semata? Atau justru sebuah teriakan keadilan yang selama ini diabaikan?

Kenapa Bisa Meledak?

Kalau kita mau jujur, amarah ini sebenarnya sudah lama dipendam. Ketimpangan makin terasa. Rakyat yang bekerja keras sulit memenuhi kebutuhan sehari-hari, sementara elit politik bergelimang fasilitas. Dalam teori psikologi sosial, ada istilah frustration–aggression: ketika orang terus menerus kecewa, rasa frustrasi itu bisa meledak jadi amarah kolektif.

Di sisi lain, kepercayaan pada pemerintah juga menurun. Dalam politik, ini disebut krisis legitimasi: rakyat merasa penguasa tidak lagi mewakili mereka. Jadi, demo besar ini bukan sekadar marah spontan, tapi akumulasi rasa kecewa yang sudah terlalu lama dipendam.
Lalu, Apa Jalan Keluar?
Kita bisa saja terus saling menyalahkan. Pemerintah menyalahkan demonstran, rakyat menyalahkan elit, aparat menyalahkan provokator. Tapi itu tak akan menyelesaikan masalah. Yang dibutuhkan sekarang adalah solusi nyata:
Dengar Rakyat dengan Sungguh-sungguh
Bukan sekadar menggelar konferensi pers. Pemerintah harus membuka forum dialog yang melibatkan mahasiswa, buruh, petani, dan masyarakat sipil. Aspirasi mereka harus benar-benar diakomodasi dalam kebijakan.
Potong Privilege, Alihkan ke Rakyat
Tunjangan mewah untuk pejabat sebaiknya dihentikan. Uangnya bisa dipakai untuk subsidi pendidikan, kesehatan, atau bantuan langsung bagi usaha kecil. Dengan begitu, rakyat merasakan manfaat nyata.
Hentikan Kekerasan Aparat
Kasus Affan Kurniawan harus jadi pelajaran. Aparat perlu dilatih untuk lebih humanis, bukan represif. Investigasi independen penting agar korban tak sekadar jadi angka statistik.
Bangun Kembali Kepercayaan
Pemerintah harus transparan dalam setiap kebijakan. Jangan ada lagi kesan bahwa keputusan diambil hanya untuk menguntungkan elit. Kepercayaan rakyat hanya bisa tumbuh kalau ada bukti nyata, bukan janji manis

Demonstrasi 2025 adalah cermin. Ia menunjukkan betapa dalamnya jurang antara rakyat dan elit. Ricuh di jalanan mungkin terlihat seperti kerusuhan, tapi sejatinya itu adalah teriakan rakyat yang menuntut keadilan.

Pertanyaannya sederhana: maukah pemerintah benar-benar mendengar? Jika iya, maka kerusuhan ini bisa jadi titik balik menuju perubahan. Jika tidak, bukan tidak mungkin suara rakyat akan kembali bergemuruh, lebih keras, lebih besar, dan lebih sulit dibendung.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *