Pemerintah Kota Jambi resmi menyosialisasikan Peraturan Wali Kota (Perwali) Nomor 6 Tahun 2025 tentang penguatan peran RT dan LPM, disertai agenda pemilihan ketua RT secara serentak di seluruh wilayah Kota Jambi. Namun, kebijakan ini menuai kritik dari berbagai kalangan. Alih-alih memperkuat demokrasi lokal dan pemberdayaan masyarakat, pemilihan serentak justru dinilai sebatas seremoni administratif yang tidak diiringi dengan peningkatan kewenangan maupun dukungan operasional bagi ketua RT terpilih.
Namun di balik nuansa seremonial yang meriah, muncul suara-suara kritis dari berbagai kalangan terutama warga dan tokoh masyarakat tingkat bawah yang mempertanyakan substansi dan efektivitas dari kebijakan tersebut.
Kritik utama yang mencuat adalah bahwa Perwali ini belum menjawab masalah klasik yang selama ini dihadapi para ketua RT: keterbatasan anggaran, tidak adanya perlindungan hukum yang memadai, serta minimnya pelibatan dalam pengambilan kebijakan di tingkat kelurahan maupun kota. Dalam konteks itu, pemilihan serentak dinilai hanya menjadi pemanis demokrasi yang tidak diiringi dengan penguatan kelembagaan secara nyata.
Salah satu persoalan yang cukup disorot adalah soal ketimpangan masa jabatan. Tidak sedikit ketua RT yang baru menjabat kurang dari satu tahun namun tetap dipaksa ikut diganti dalam pemilihan serentak ini. Hal ini menimbulkan kebingungan dan keresahan di tengah masyarakat.
Di sisi lain, sejumlah pengamat tata kelola pemerintahan juga menyoroti bahwa meski Perwali menyebut “penguatan”, namun tidak secara rinci mengatur indikator kinerja, struktur pendampingan, maupun mekanisme koordinasi yang memperjelas posisi RT dan LPM dalam sistem pemerintahan kota.
Bahkan dalam pelaksanaan teknis pemilihan serentak, terdapat catatan mengenai minimnya sosialisasi kepada warga serta waktu yang terlalu singkat untuk menjaring calon secara partisipatif. Akibatnya, banyak RT terpilih tanpa kompetisi yang sehat, karena kandidat tunggal atau tidak adanya forum warga yang representatif.
Dalam iklim demokrasi lokal, partisipasi warga memang menjadi pijakan penting. Namun partisipasi tanpa kejelasan mandat dan daya dukung justru berisiko melahirkan frustrasi sosial dan pembiaran sistemik, di mana warga terlibat dalam proses pemilihan tetapi tidak merasakan dampaknya dalam pelayanan publik yang lebih baik.
Melihat berbagai dinamika yang muncul, Pemerintah Kota Jambi sebaiknya melakukan peninjauan ulang terhadap implementasi Perwali Nomor 6 Tahun 2025, khususnya terkait pemilihan ketua RT secara serentak. Salah satu hal yang perlu dikoreksi adalah kebijakan mengganti seluruh ketua RT secara seragam, tanpa mempertimbangkan bahwa sebagian di antaranya masih menjalankan masa jabatan yang sah dan produktif. Hal ini penting agar prinsip keadilan dan kesinambungan kepemimpinan di tingkat lokal tetap terjaga. Selain itu, kualitas sosialisasi kepada masyarakat perlu ditingkatkan. Warga harus diberi cukup waktu dan ruang untuk memahami proses pemilihan serta berpartisipasi aktif, bukan sekadar menjadi penonton dalam pesta demokrasi yang digelar secara terburu-buru.
Penulis : Rachmaddatur Rizky Fadilla, Mahasiswa Ilmu Pemerintahan, Universitas Jambi