Ribuan pelajar dari berbagai sekolah di Jakarta dan sekitarnya turun ke jalan pada Senin, 25 Agustus 2025. Mereka membawa satu tuntutan utama: “Bubarkan DPR!”
Aksi yang berlangsung di depan Gedung DPR/MPR RI sejak siang hingga malam hari itu diwarnai bentrokan dengan aparat. Gas air mata ditembakkan, ratusan pelajar ditangkap, dan sejumlah ruas jalan protokol lumpuh akibat massa yang terus berdatangan.
Namun yang mengejutkan, peristiwa besar ini nyaris tak muncul di layar televisi nasional maupun headline media besar. Publik justru lebih banyak mengetahui jalannya aksi dari video-video amatir yang beredar luas di TikTok, Instagram, dan X.
Di media sosial, tagar #BubarkanDPR sempat merajai trending dengan puluhan ribu unggahan. Rekaman pelajar berlari menghindari tembakan gas air mata, hingga momen dramatis aparat menyeret demonstran ke dalam mobil, menyebar cepat dan menuai simpati.
Kebungkaman media arus utama menimbulkan tanda tanya besar. Mengapa demonstrasi yang skalanya besar dan berdampak langsung pada wajah demokrasi tidak diliput secara layak? Apakah ada intervensi politik? Atau sekadar alasan bisnis agar tidak mengganggu kenyamanan elite dan sponsor iklan?
Pengamat sosial Eko Masjon Ferry Sihombing, S.Sos menilai hal ini sebagai potret kemunduran demokrasi di Indonesia.
“Ini bukan peristiwa kecil. Ribuan pelajar berani melawan kebijakan yang dianggap merugikan rakyat. Tapi ketika pers memilih diam, artinya kita sedang berada di masa di mana suara rakyat disensor,” tegasnya.
Ia menambahkan, peran media sosial yang kini mengambil alih fungsi jurnalisme publik justru memperlihatkan kontras yang tajam dengan media arus utama.
“Di TikTok dan Instagram, publik melihat realitas tanpa sensor. Di TV nasional, seolah tak ada apa-apa. Ini pertanda masyarakat harus lebih waspada, karena demokrasi bisa mati pelan-pelan lewat kebungkaman pers,” pungkasnya.