ARTIKELBREAKING NEWSHUKUM DAN KRIMINALOPINIPENDIDIKAN

Anarkisme Aparat dan Hilangnya Legitimasi DPR

×

Anarkisme Aparat dan Hilangnya Legitimasi DPR

Sebarkan artikel ini

Gelombang demonstrasi yang tengah berlangsung di berbagai daerah kembali membuka mata publik tentang wajah asli negara ini. Aparat yang seharusnya menjadi pelindung rakyat justru tampil sebagai pelaku anarkisme. Pemukulan, intimidasi, penangkapan sewenang-wenang, hingga penggunaan kekuatan berlebihan menjadi bukti nyata bahwa ruang demokrasi kian dipersempit. Aparat tak lagi membedakan antara mengendalikan massa dan memukul aspirasi rakyat.

 

Ironisnya, praktik kekerasan ini bukan hanya mencederai warganya sendiri, tetapi juga mempermalukan citra Indonesia di mata dunia. Sorotan lembaga internasional, termasuk PBB, terhadap pola represif aparat semakin menegaskan bahwa problem yang kita hadapi bukan sekadar “kekerasan di lapangan”, melainkan sebuah krisis demokrasi.

 

Namun, akar persoalan yang lebih mendasar terletak pada kegagalan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam menjalankan fungsi utamanya. Lembaga yang seharusnya menjadi corong aspirasi rakyat justru tampak sibuk menjaga kepentingan politiknya sendiri. Gelombang demonstrasi yang membawa tuntutan 17 + 8 poin adalah wujud keresahan nyata masyarakat. Mengabaikan tuntutan tersebut sama saja dengan menutup mata terhadap penderitaan rakyat. Jika DPR tetap pasif, maka legitimasi moralnya di hadapan publik akan runtuh.

 

Oleh karena itu, solusi tidak bisa lagi berhenti pada retorika kosong. Ada tiga langkah mendesak yang perlu segera dilakukan:

 

1. Menghentikan anarkisme aparat. Setiap tindakan represif harus dihentikan dan diusut tuntas melalui investigasi independen, bukan sekadar evaluasi internal yang berujung impunitas.

 

 

2. Membuka ruang dialog. DPR wajib turun langsung mendengar aspirasi rakyat dan memastikan tuntutan 17 + 8 poin dibahas serta dipenuhi sebagai komitmen nyata terhadap demokrasi.

 

 

3. Mengubah cara pandang terhadap rakyat. Pemerintah dan DPR harus berhenti memandang aksi massa sebagai ancaman. Sebaliknya, aksi itu adalah suara sah yang patut didengar dan ditindaklanjuti.

 

 

 

Tanpa langkah konkret tersebut, luka rakyat akan semakin dalam, ketidakpercayaan akan semakin besar, dan perlawanan dari berbagai lapisan masyarakat akan kian menguat. Pada akhirnya, DPR dan pemerintah bukan hanya kehilangan legitimasi di hadapan rakyat, tetapi juga di mata dunia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *