ARTIKELBREAKING NEWSNASIONALSocial Media

Polemik Pasca Kritikan Film “His only son” Oleh Pimpinan DPR

×

Polemik Pasca Kritikan Film “His only son” Oleh Pimpinan DPR

Sebarkan artikel ini
pimpinan Komisi VIII DPR (bidang agama), Tubagus Ace Hasan Syadzily

Pimpinan Komisi VIII DPR (bidang agama), Tubagus Ace Hasan Syadzily, yang menyerukan agar penayangan film His Only Son dihentikan sekaligus dikaji ulang peredarannya. Alasannya tak jauh dari kekhawatiran sepihak bahwa film yang diambil dari Kitab Kejadian itu, tidak sesuai dengan cerita Nabi Ibrahim versi Islam.

 

“Beredarnya film His Only Son di Indonesia sebaiknya dihentikan atau banned. Narasi film ini penuh dengan kontroversi. Muatan film ini tidak seperti pemahaman selama ini tentang sejarah Nabi Ibrahim As yang diyakini umat Islam di Indonesia pada umumnya,” kata Ace Hasan Syadzily, politisi Golkar itu, dalam siaran pers tertulisnya.

 

Di Lain Sisi Presidium Hubungan Masyarkat Katolik Pengurus Pusat Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PP PMKRI) Anthoni Renaldo Talubun mengkritisi permintaan pimpinan Komisi VIII (bidang agama) DPR agar penayangan film His Only Son dihentikan di seluruh bioskop di negara ini.

 

Aldo menegaskan, film His Only Son memang terinspirasi dari kisah Abraham dalam Alkitab Kristiani. Dan umat Kristiani adalah bagian tak terpisahkan dari bangsa Indonesia.

 

“Agama Kristen, baik Katolik maupun Protestan juga adalah agama yang sah di Indonesia. Karena itu, umat Kristiani pun berhak mengakses film-film yang terkait keimanan mereka di ruang-ruang publik negeri ini,” tegas Aldo, Rabu (13/09/2023).

 

PP PMKRI menilai permintaan pimpinan Komisi VIII DPR itu tak layak diutarakan oleh wakil rakyat yang seharusnya mencerminkan masyarakat Indonesia, termasuk kebhinekaannya.

 

Pernyataan pimpinan Komisi VIII DPR itu, menurut Aldo, justru menganulir ciri kebhinekaan. Seorang wakil rakyat seharusnya mengangkat dan sebisa mungkin melegitimasi ekpresi hak-hak parsial dalam agama-agama, terutama yang berstempel minoritas, tanpa dibredel oleh kepentingan keyakinan mayoritas.

 

“Memprihatinkan sekali, justru pimpinan Komisi VIII DPR itu tampak berupaya membatasi ekspresi hak-hak parsial kelompok minoritas hanya dengan memakai paradigma kelompok dominan. Wakil rakyat tidak pernah boleh melarang keyakinan kelompok minoritas dimanifestasikan di ruang publik,” tegas Aldo.

 

“Sehingga nantinya, keyakinan atau kebenaran versi kelompok dominan itu saja yang boleh tampil di ruang-ruang publik. Inilah wujud hegemoni sektarian, yang tak pantas dilakukan wakil rakyat yang seharusnya berucap dan berperilaku selaras dengan prinsip kebangsaan,” tambahnya. (Yoseph Ikanubun).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *