Pembangunan kawasan industri Pulau Rempang, Kota Batam menimbulkan konflik sengketa tanah antara masyarakat, pemerintah, dan PT. Makmur Elok Graha.
Program pembangunan yang bertujuan untuk meningkatkan daya saing Indonesia terhadap Singapura dengan harapan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan menciptakan lapangan kerja justru berujung bentrok akibat ketidakpastian hukum atas tanah.
Masyarakat menganggap, tanah tersebut merupakan warisan leluhur mereka dan telah mendiami wilayah itu selama beberapa generasi dan memiliki keterikatan budaya yang telah mendalam dengan tanah.
Sedangkan di sisi lain, adanya Hak Guna Usaha (HGU) yang diberikan pada sebuah perusahaan, membuat tanah tersebut dianggap tidak lagi milik masyarakat.
Banyak warga yang merasa tidak dilibatkan dalam proses perencanaan dan keputusan yang diambil oleh pemerintah yang membuat ketidakpuasan dan rasa ketidakadilan di kalangan masyarakat.
Ketidakpuasan tersebut memicu berbagai aksi protes yang terkadang berujung pada bentrokan antara masyarakat dan aparat keamanan, menciptakan ketegangan di daerah tersebut. berdasarkan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 adalah Pasal 6, yang berbunyi: “Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.”
Pasal ini menegaskan bahwa hak atas tanah, baik milik individu, kelompok, maupun negara, tidak bersifat mutlak.
Tanah harus digunakan untuk kepentingan masyarakat luas dan tidak boleh merugikan pihak lain, terutama masyarakat yang bergantung pada tanah tersebut untuk kehidupan sehari-hari.
Hak Adat vs. Pembangunan
Masyarakat adat memiliki hubungan historis dan emosional dengan tanah mereka, yang tidak hanya menjadi sumber penghidupan tetapi juga identitas budaya. Tanah adat di Rempang, yang telah dihuni selama beberapa generasi, memiliki nilai yang tidak bisa diukur hanya dengan uang. Di sisi lain, pemerintah berdalih bahwa proyek pembangunan ini akan membawa manfaat ekonomi yang besar, seperti penciptaan lapangan kerja dan peningkatan daya saing ekonomi nasional.
Namun, seringkali pembangunan ini mengorbankan masyarakat lokal, yang justru menjadi pihak yang paling dirugikan. Pemaksaan relokasi atau penggusuran tanpa dialog yang memadai dan tanpa kompensasi yang layak adalah bentuk ketidakadilan yang nyata.
Sejauh ini Sebagian warga telah menyetujui pemindahan tempat tinggal sementara dengan kompensasi biaya hidup dan sewa rumah dari Badan Pengusahaan (BP) Batam. Hingga akhir tahun, proses pembangunan tempat tinggal permanen untuk warga terdampak masih dilakukan, dengan target rampung dalam beberapa bulan ke depan.
Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nasional (BKPM) Bahlil Lahadalia mengatakan, pembebasan lahan untuk proyek pembangunan Rempang Eco City di Pulau Rempang, Provinsi Kepulauan Riau, bisa selesai akhir 2024,Menurutnya, saat ini proses pembebasan lahan masih terus berjalan.
Masih dalam tahap itu (pembebasan lahan).Lebih cepat lebih baik.Insya Allah (akhir 2024), insya allah,” ujar Bahlil di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (5/10/2023).
Penulis: Chello Herpin Alfairuz, Mahasiswa Universitas Jambi