Laut China Selatan (LCS) telah menjadi titik fokus global karena sengketalah yang kompleks dan multifaset. Perairan ini, yang memiliki nilai ekonomis tinggi karena sumber daya alam dan hasil laut yang melimpah, telah menjadi rebutan antara China dan beberapa negara di ASEAN, termasuk Filipina, Taiwan, Brunei Darussalam, Malaysia, dan Vietnam.
Secara geografis, LCS berbatasan dengan beberapa negara, termasuk Brunei Darussalam, China, Malaysia, Filipina, Singapura, Taiwan, dan Vietnam. Garis batas LCS menyerupai huruf ‘U’, dimulai dari perairan Malaka dan berakhir di sebelah timur perairan Taiwan. Batas ini ditandai oleh China dengan demarkasi sembilan garis putus-putus, yang sering disebut sebagai “lidah sapi” atau cow’s tongue1.
Permasalahan utama di LCS adalah klaim tumpang tindih antarnegara. Setidaknya enam negara mengklaim wilayah ini, yang telah menyebabkan banyak insiden, termasuk bentrok terbaru pada bulan Agustus 2023. Insiden-insiden ini sering kali melibatkan kapal penjaga pantai dan militer dari negara-negara yang bersengketa.
Selain klaim tumpang tindih, kejahatan transnasional juga menjadi perhatian internasional. Aktivitas kriminal seperti perdagangan manusia, eksploitasi, penyelundupan narkoba, dan imigrasi gelap telah meningkat di LCS. Degradasi lingkungan dan perubahan iklim juga merupakan tantangan signifikan, dengan eksploitasi sumber daya yang berlebihan menyebabkan stok ikan menurun drastis dan kerusakan pada habitat karang dan spesies lain.
Dalam usaha untuk memastikan perdamaian dan stabilitas di LCS, organisasi internasional seperti Organisasi Hidrografis Internasional (International Hydrographic Bureau) dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah berusaha mengadopsi konvensi hukum laut sebagai kerangka kerja untuk menyelesaikan sengketa wilayah ini. Negara-negara di ASEAN, termasuk Indonesia, juga berusaha menjaga stabilisasi regional dengan diplomasi dan upaya militer untuk mengamankan kepentingan nasional mereka di Natuna Islands.
Konflik di LCS bukan hanya masalah internal wilayah laut tersebut, tetapi juga implikasi geopolitis global yang kompleks. Negara-negara di Asia dan dunia internasional harus bekerjasama untuk menghindari eskalasi konflik dan membangun perdamaian yang berkelanjutan di LCS.
Penulis: Febru Lianda Putra (B1A123020) Fakultas Hukum Universitas Jambi